Bencana, apalagi bencana alam, sangat sulit dihindari, diantisipasi bahkan diprediksi sekalipun sampai modyar cocote. Kesiapan untuk menghadapinya pun satu sama lain berbeda apalagi penyikapannya. Sikap arif, peduli dan saling berbagi adalah beberapa sikap yang harus ditumbuhkan. Bagaimanapun masyarakat yang tertimpa bencana adalah korban yang harus didukung untuk bisa bangkit kembali, terlepas dari banyak latar belakang dan permasalahan yang pernah ada. Memberikan motivasi, dukungan moril serta tips-tips ringan tepat guna adalah sesuatu yang sangat positif, disamping dukungan moral untuk kembali bangkit keluar dari penderitaannya.
Banyak sekali para cerdik cendekia, aktivis dan pengamat lingkungan baik yang ahli ataupun karena pendidikan dibidangnya adalah sumberdaya yang sangat berharga, belum lagi komunitas-komunitas siaga bencana yang sudah di tumbuhkan dari bawah oleh para pegiat disaster management ditambah dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Kearifan-kearifan lokal memiliki cara dan metode untuk menentukan arah dan bangkit dari keterpurukan yang secara tidak langsung sudah terpancang dalam memori benak individual ketika belajar dari masyarakat dan lingkungan setempat, meski hal ini ada karena waktu bermukim yang sudah lama dan pada komunitas yang sudah establish selama beberapa waktu dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan bencana lokal.
Politik bencana, politik bumi, politik air, politik pertanian atau apapun seharusnya berperspektif kebencanaan pada saat ini bukan karena memang Indonesia adalah daerah bencana karena Ring Of Fire yang mengitarinya namun perspektif disaster management memiliki nilai-nilai dalam dan lengkap untuk kemanusiaan terutama pada waktu kritis karena terkena bencana hingga konflik yang berkepanjangan tanpa alasan yang sering kita dengar dan baca di media-media yang eksis di Negeri Begajul.
Penanganan bencana dari tanggap darurat hingga penanganan pasca bencana membutuhkan energi dan biaya yang tidak terhingga, bersyukur semacam penanganan bencana alam gempa Yogyakarta pada beberapa tahun yang lalu bisa selesai, meski dengan perjuangan dan perjalanan yang tidak mudah, dibandingkan dengan penanganan pasca bencana tsunami Aceh yang entah sampai sekarang tidak ada khabarnya. Jangan sampai banyak permasalahan yang muncul di kemudian hari yang humanitarian adalah menangani manusia dan dalam frame kemanusiaan yang sangat holistik. Secara kejiwaan masyarakat pada dasarnya memiliki cara-cara tersendiri agar bisa survive dalam berbagai keadaan.
Namun bagaimanapun karena pendidikan dan sistem yang selama ini telah diformat kedalam frame belajar masyarakat, menjadikan dominasi dan peran pemerintah yang harus dilibatkan bersama pihak lain. Meski dalam konteks kenegaraan semua kebijakan ada dalam pihak negara, hal ini menjadikan taste tersendiri dimana negara wajib memberikan dan membantu masyarakat sebagai warganegara yang membutuhkan penanganan darurat dan khusus dari negara, dan kewajiban negara ini tidak boleh dihalangi atau diabaikan begitu saja oleh negara. Kemandirian dan senyapnya protes dari warganegara karena tidak adanya kran terbuka untuk hal tersebut, menjadikan pernyataan Marzuki Alie sebagai salah satu petinggi dewan perwakilan rakyat Indonesia adalah sebuah permunculan gunung es permasalahan dalam hal perspektif maupun politik di negeri tercinta.
Meskipun katanya sepotong-sepotong namun pernyataan seperti dibawah ini sangatlah menyakitkan dan sama sekali norak ketika keluar dari perbincangan seorang pejabat kenegaraan. Sebelumnya, menanggapi bencana tsunami yang terjadi di Mentawai, Marzuki mengatakan: "Mentawai baru ada beritanya karena pulau itu kan jauh. Ya, pulau kesapu sama ombak besar kesapu tsunami mungkin konsekuensi orang yang tinggal di pulau lah," kata Marzuki. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini mengklarifikasi pernyataannya itu. Menurut dia, sebenarnya dia mengatakan, Mentawai itu adalah kawasan zona gempa. "Secanggih apapun peralatannya, kalau tidak ada tempat berlindung di pulau tersebut, maka tidak ada gunanya,” kata dia. “Maksud saya, jangan ada lagi anak bangsa yang mati sia-sia".
Marzuki mencontohkan kasus meninggalnya Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi. “Jangan seperti kasus Mbah Maridjan, walaupun sudah difasilitasi, tapi tetap dengan kepercayaannya, lalu ada awan panas kemudian tewas. Ya nggak bisa dong, disalahkan pemerintah,” katanya. Setelah diserang dengan banyak surat terbuka, posting blog, kicauan twitter, maupun media lainnya, atau karena merasa modyar cocote akhirnya baru keluar statemen seperti ini: Dalam kesempatan ini, Marzuki juga menyampaikan alasannya mengapa belum melakukan kunjungan ke Mentawai. “Kalau saya pergi kesana sekarang, tugas saya apa? Hanya untuk melihat-lihat?” katanya, balik bertanya.
Sedangkan kalau tetap di Jakarta ia bisa memantau perkembangan dan menanyakan kepada menteri perhubungan tentang pengiriman bantuan ke Mentawai. “Saat ini yang mereka perlukan para relawan. Kalau saya datang untuk berempati, itu nanti,” ujar Marzuki. Dia berjanji akan meninjau ke daerah bencana bersama komisi XIII DPR dengan membawa dana bantuan. “Kita datang ke daerah bukan dengan tangan kosong,” ungkapnya. Dikutip dari Marzuki Alie: Saya minta maaf padahal beliau Mbah Marijdan sang Samurai Jawi sangat terhormat dimata saya. Mungkin hal ini sangat berlebihan jika dipolitisir, namun dalam benak warganegara yang agak perhatian jelas terpateri bahwa penanganan bencana atau apapun kadang tak digubris serius, dan pernyataan seperti diatas meskipun tak disengaja adalah sebuah pertanda betapa perspektif tentang penyelesaian masalah warganegara dan negara hanyalah dianggap angin lalu, dan mungkin tidak penting, terbaca dari banyaknya kasus penanganan bencana yang serba kekurangan dan kurangnya kesigaban pihak terkait untuk menanganinya.
Lebih cilaka lagi ketika anggota dewan yang terhormat itu harus belajar ke manca negara hanya untuk masalah etika, betapa sangat memprihatinkan. Belum lagi kegiatan lain yang sama sekali membuat mata terbelalak. Modyar cocote. Entah dengan semakin ekstrimnya cuaca dan kondisi alam yang sangat fenomenal ini mungkin semuanya akan serba kacau dan terbengkalai, meski sumbangan tenaga dan logistik antar warga masyarakat yang tergugah cukup besar, namun ketika negara tidak mengeluarkan kebijakan khusus untuk hal ini apalah kekuatan warga untuk menanganinya sendiri, tanpa koordinasi yang legal dan keikutsertaan negara tentulah konflik horizontal karena kerawanan sosial yang akan menyambutnya. Sungguh tidak diharapkan dan sangat disayangkan apabila eksekutif, dan badan legislatif negara tidak merombak perencanaan kerjanya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat banyak dan kebutuhan mendadak warganegaranya. Sebelum semuanya modyar cocote.