Minum Kebablasan

supersemar
 

Minum Kebablasan

Heran, demokrasi yang cukup bagus dan seharusnya masih bisa lebih bagus di negeri begajul dikatakan kebablasan. Tentu saja selain bu Titiek Soeharto di Acara Haul Soeharto Peringatan 51 Supersemar tahun di Masjid At-Tin 11 Maret 2017 di Jakarta. Sejauh mana sebenarnya kebablasannya. Menjadi sebuah pertanyaan serius tentang Demokrasi. Serta Demokrasi macam apa yang pernah dicontohkan ORBA atau Orde Baru yang dikuasai keluarga Titiek Soeharto dari keluarga besar Cendana tersebut?, betul-betul membuat puyeng kepala.


Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret tahun 1966, memang misteri. Bagaimana tidak? ada sebagian golongan meyakini bahwa supersemar tersebut palsu, dan sebagian lainnya mengatakan bahwa Supersemar tersebut asli, hal ini disebabkan karena ada dugaan bahwa naskah supersemar yang asli hilang. Dan naskah yang beredar adalah palsu. Sulit dijawab ketika naskah supersemar asli tersebut memang sampai sekarang belum diketemukan.

Celakanya memang Supersemar tersebut sepertinya jatuh ke tangan kesatria berwatak yang perlu dipertanyakan karena setelah mendapat mandat Supersemar tersebut ratusan ribu nyawa melayang. Akibat peristiwa G30S yang dilakukan di Jakarta dan di Jogjakarta, yaitu pembunuhan terhadap jenderal-jenderal yang dilakukan secara militer, dan dimakamkan di lokasi yang dekat dengan markas militer, Tidak menyebutkan PKI karena tidak diketahui para pembunuh bersenjata tersebut adalah orang Partai Komunis ataukah tidak. Kemudian akibatnya adalah pembunuhan massal terhadap simpatisan Partai Komunis di seluruh negeri. Kesengsaraan berjuta keluarga dan warga negara pun ikut terkubur sampai sekarang dan tidak diketahui juntrung kepastiannya. Bahkan cerita sejarah yang bisa dipegang pun seakan tidak ada, sebab cerita-cerita di masyarakat pun berbeda-beda, hanya satu benang merahnya yaitu setelah ada pasukan RPKAD maka mulailah ada banyak pembunuhan masal di suatu daerah.

Soekarno pun kemudian meninggal dunia dengan mengenaskan seperti cerita mas Butet di Facebooknya:

Selalu Terulang

Peristiwa Pasca Supersemar 11 Maret 1966, terlalu mengerikan untuk diingat dan diceritakan, sebab selain benar-benar mengerikannya pembunuhan-pembunuhan tersebut, juga melibatkan seluruh warga negara, baik yang membunuh, dibunuh, maupun yang membiarkannya hal tersebut terjadi. Pembiaran itupun masih dilakukan hingga saat ini. Bahkan peristiwa, ancaman membunuh, maupun pembenaran-pembenaran masih selalu saja digunakan. Komunis dan Anti Komunis, Islam dan Kafir, pengkhianat bangsa dan sebagainya, dan sebagainya. Masih digunakan dan ancaman bahwa seseorang menjadi pendukung komunis ataupun simpatisannya masih merupakan alat ampuh untuk menebas kebebasan berpikir dan waras, bahkan untuk menganalisa kejadian 1965-66 pun masih dihantui berbagai ancaman dan tindakan pembubaran. Dan tentusaja ini bukan bentuk demokrasi yang kebablasan, namun demokrasi yang dibelenggu sedemikian rupa sangarnya, demi kepentingan sekelompok orang, keluarga dan golongan yang masih ingin hidup enak, berkuasa dan terbebas dari pertanggungjawaban dosa masa lalunya.

Dalam Pilkada DKI 2017 pun, isu ini masih menjadi isu yang sangat krusial. Sejak omongan-omongan bebas para dai televisi di acara Aksi Bela Islam 212, 412 dan apapun itu. Mereka orang-orang berjubah yang muncul entah darimana itupun menggunakan pengeras suara meneriakkan ajakan pembunuhan hingga menuduh orang-orang tertentu yang menjadi lawan poltiknya dengan sebutan kafir, komunis dan berbagai macam yang pernah terjadi di masa pasca supersemar 1966.

Pak Jarot, ditolak dan disoraki ketika akan ikut acara 51 tahun Supersemar, selain karena masalah politik pilkada DKI, coba dengarkan kata-kata tentang pengkafiran dan sebagainya

Sebenarnya bukan demokrasinya yang kebablasan, namun sepertnya para penumpang demokrasilah yang sedang mabok.

Atas