minum dua putaran

dawet
 

minum dua putaran

Akhirnya pilkada serentak senegeri begajul terlaksana pada 15 Februari 2017. Menyisakan para pemenang yang berhasil melaluinya. Salut kepada yang menang dan jangan patah semangat kepada yang kalah. Masih ada waktu 5 tahun lagi untuk berlaga secara demokratis memperebutkan kursi kekuasaan, bagi yang mengganggapnya kekuasaan atau kepemimpinan, meski sebenarnya yang dibutuhkan di negeri ini adalah administrator atau manajemen daerah yang sesungguhnya. Bukannya manajemen daerah dan isu daerah yang harus dipegang oleh sekretaris daerah sebenarnya. Kekeliruan ini seharusnya dapat segera di pulihkan ke tempat yang benar oleh para cerdik cendekia dan ilmuwan politik yang mumpuni.

Beberapa konflik pilkada pastinya ada, karena umur demokrasi dan negara yang belum berpengalaman penuh melakukan sistem demokrasi. Banyaknya pelanggaran oleh para panitia pemilihan dan praktek bagi-bagi uang yang ada di mana-mana. Rasanya banyak para ahli politik yang mengamininya dan membiarakannya, karena dianggap sebagai salah satu praktik dan strategi politik untuk memenangkan pilkada. Sungguh masih mengecewakan selain program-program kampanye para kandidat yang tidak sepenuhnya akan merevolusi daerahnya menjadi daerah yang memiliki ciri khas perjuangan untuk kesejahteraan rakyatnya secara komprehensif. Masih tergantung dengan kebijakan pusat, ya kebijakan pada masa kampanye Presiden. Selain program-program pembangunan dari kementrian dan lembaga-lembaga dari pusat. Lembaga dan kepemimpinan daerah bisa dipertanyakan ulang. Mereka itu kerjanya apa?.

Selain itu di negeri begajul yang seudah lama menggunakan auto pilot karena tidak semua kebujakannya dapat menyentuh pribadi-pribadi di negeri tersebut. Satu daerah yang dengan sombongnya mengatakan dirinya sebagai Daerah Khiusus Ibukota mengalami pemilihan kepala daerahnya hingga dua putaran. Entah maksudnya apa karena sudah ada pemenang dan mensyaratkan harus 50 + 1 tersebut, terpaksa harus mengadakan dua putaran karena pada putaran pertama ternyata belum ada kandidat yang berhasil melampaui persyaratan kemenangan tersebut.

Aturan mengapa Pilkada DKI harus mensyaratkan pemenangnya adalah 50% + adalah UU khusus untuk DKI. UU tersebut adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana:

Pasal 11 ayat 1 berbunyi, "Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur terpilih.

Bagian penjelasan Undang-undang ini menerangkan mengenai pasal 11. Yang dimaksud dengan "lebih dari 50% (lima puluh persen)" adalah jumlah perolehan suara yang sah lebih dari 50% (lima puluh persen).

Ayat 2 menyebut kemungkinan putaran kedua, jika pasangan calon tidak mencapai 50 persen.

Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Ayat 3 Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Tentunya seluruh masyarakat akan lebih detail lagi melihat pertarungan untuk putaran kedua ini, sebuah pembelajaran demokrasi lagi yang patut disimak. Selain bagaimana membuat para pendukungnya lebih solid, juga bagaimana menambah suara yang tadinya sudah berada di calon lain yang mendapat suara namun tidak masuk putaran kedua. Selain itu kita akan melihat bagaimana penajaman program-program kandidat kepala daerah agar lebih masuk akal dan dapat dilakukan beserta indikator-indikatornya yang jelas. Itu jika berhadapan dengan pemilih yang cerdas, meski biasanya orang yang cerdas biasanya akan membiarkan proses pemilihan kepala daerah yang dipenuhi dengan hal-hal 'tricky'.

Selain itu juga sosok kandidat mempunyai bawaan sentimen tersendiri, bagaimana mereka bisa mengambil hati masyarakat yang bermukim dan berKTP di DKI. Mungkinkah penilaian sentimentil akan masih berlaku?.

Atas