Hancurnya pendidikan Indonesia ataupun kurikulum pendidikan anak usia dini, khususnya disini, adalah salah satu akar masalah terjadinya booming home schooling oleh para 'smart parents' dan sekolah-sekolah alternatif disebabkan karena adanya ketidakpuasan atas apa yang sudah disediakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal, terutama ketika besarnya prosentase siswa yang tidak lulus UN dan rendahnya peringkat dalam PISA telah benar-benar membuka mata kita semua tentang kehancuran dunia pendidikan di Indonesia.
Namun, sayang sungguh sayang, ketika gerakan alternatif ini tidak juga dilakukan dengan benar, yaitu ketika tidak adanya kurikulum yang tepat untuk peserta didiknya. Dalam hal ini pendidikan anak usia dini maupun selanjutnya. Amat sangat menggelikan pada postingan beberapa status atau komentar di Facebook mengenai tidak pentingnya panduan atau kurikulum yang baku dalam pendidikan model alternatif, ini sebuah pertanyaan besar, kalo bukan aneh bin ajaib, karena bagaimana manusia hidup tanpa ruh dan spirit.
Menjadikan ingin tahu apakah sebenarnya yang menulis seperti itu tahu enggak ya tentang makna dari kurikulum pendidikan itu sendiri? Bisa dikatakan benar bahwa kurikulum yang dimaknai secara formal adalah suatu tumpukan berkas alias dokumen rencana pendidikan yang merinci tujuan dan sasaran yang harus dicapai, topik yang harus dicakup dan metode mana yang akan digunakan untuk belajar, mengajar dan evaluasi. Namun, sebenarnya kurikulum lebih dari sekedar berkas karena kurikulum juga mencakup hal-hal informal antara pendidik dan pembelajarnya. Kurikulum tidak sekedar mencakup materi-materi formal yang tertera dalam Standar Kompetensi sebagaimana sangat jelas telah ditetapkan dalam beberapa Permendiknas.
Kurikulum juga mencakup berbagai kebijakan nonformal dan muatan kemampuan pengetahuan-pengetahuan tentang bagaimana dapat menjalani dan bertahan hidup dalam kehidupan ini. Idealnya, sebagai kepala sekolah untuk anak-anak usia 1 tahun 10 bulan sampai dengan 6 tahun 11 bulan harus memiliki keseluruhan rencana pendidikan yang terangkum menjadi kurikulum, baik yang tertuang sebagaimana dalam kurikulum tertulis (yang sebanyak 3 kontainer 80 liter kalau dicetak semuanya) maupun yang terintegrasi dalam karakter masing-masing anggota keluarga Bintang Bangsaku.
Idealnya, jika saya adalah kepala sekolah TK dan SD, maka seharusnya saya juga punya kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan SD yang lengkap untuk anak usia 3 tahun 6 bulan sampai dengan usia 12 tahun jauh sebelum saya membuka pintu sekolah lebar-lebar untuk peserta didik. Idealnya, jika saya adalah orang tua, maka saya akan punya kurikulum pendidikan untuk anak mulai sejak ia berada dalam kandungan sampai usia di mana ia harus saya lepas sepenuhnya dalam mengarungi kehidupan ini secara mandiri.
Hmm ... Apakah kemudian hidup ini menjadi kaku atau bahkan kita menjadi tuhan bagi peserta didik atau anak kita sehingga memperlakukannya tidak manusiawi jika kita memiliki kurikulum?. Tentu tidak, karena dalam kurikulum ada komponen evaluasi, sehingga kita selalu bisa melakukan review dan preview atas segala yang sudah kita rencanakan dan lakukan karena bagaimanapun juga kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di detik berikutnya.
Tanpa adanya kurikulum, akan sulit melakukan evaluasi yang bersifat menyeluruh maupun perubahan terjadi secara sporadis dan tidak punya kejelasan bentuk maupun tujuan yang bisa dijadikan indikator kepastian capaiannya. Namun, yang sangat menyakitkan, believe it or not, model seperti inilah yang dihadapi oleh anak-anak kita. So please jangan berimajinasi bahwa sekolah-sekolah formal yang telah ada sebelumnya atau bahkan sekolah-sekolah terkenal itu punya kurikulum yang bagus, karena sebagian besar ternyata memiliki kelemahan yang sama tetapi hanya memiliki kekuatan di sisi marketing.
Tidak perlu disebutkan nama-nama sekolah tersebut, karena yang pasti saya memang tahu kondisi asli mereka, karena pernah saya datangi dan investigasi seperlunya, baik disaat sebagai pembicara dalam seminar, pelatihan atau ketika mendapat tugas sebagai salah satu asesor nasional yang menilai kompetensi para calon kepala sekolah maupun calon pengawas sekolah. Sangat perlu diperhatikan dan ditegaskan, dengan kata lain, please juga jangan berpikir bahwa para smart parents yang lantang memperjuangkan gerakan pendidikan alternatif melalui home schooling tersebut juga sudah tepat dalam mendidik anaknya. Karena pada kenyataannya proses pembelajaran berlangsung secara random tanpa sistematika yang menghormati tahap perkembangan anak maupun tingkat kesulitan dari materi atau keterampilan yang diajarkan.
Benar-benar saya merasa sedih ketika melihat banyaknya orang tua yang menjadi korban bujuk rayu seni marketing dari sekolah-sekolah ternama atau orang-orang ternama karena bagi saya, pendidikan yang ideal adalah hak bagi setiap orang, bagi setiap anak, apapun dan bagaimanapun kondisinya tanpa membeda-bedakan kelas sosial, etnisitas, agama, aliran politik, difabilitas dan sebagainya meski memang lebih kompleks sebagaimana hasil seminar di Agra, India pada tahun 1998 bahwa pendidikan inklusif di kutip sebagaimana aslinya dari EENET:
*acknowledges that all children can learn *acknowledges and respects differences (age, gender, ethnicity, language, disability, HIV status, etc) *enables education structures, systems and methodologies to meet the needs of all children *is part of a wider strategy to promote an inclusive society *is a dynamic process which is constantly evolving *need not be restricted by large class sizes or shortage of material resources.
Memang benar saya hanya kepala sekolah kecil yang cita-citanya besar, bagaimanapun juga saya tidak bisa banyak membantu orang tua selain membantu pencapaian pemahaman mengenai proses belajar anak-anak secara sangat terbatas dan bagaimana cara serta medode menyusun kurikulum secara tepat untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak-anak. Mulai dari yang balita semoga suatu saat nanti saya dan teman-teman di Sekolah Bintang Bangsaku bisa membantu anak-anak tidak hanya pada level early learning atau pendidikan anak usia dini.
Maka dengan harapan yang positif saat ini, dalam rangka memperingati hari lahir Bintang Bangsaku dan juga sekaligus dengan spirit Hari Pendidikan Nasional, Sekolah Bintang Bangsaku mengajak dan memberikan kesempatan untuk dapat berdiskusi langsung dengan praktisi dan pakar pendidikan anak usia dini sehingga pada akhirnya orang tua dapat menyusun kurikulum yang tepat bagi para early learner-nya dalam kemasan 'Kupas Tuntas Anak Usia Dini' terbagi dalam beberapa pokok permasalahan dengan rencana sebagai berikut:
- "Curriculum for Early Learner" oleh Yanti Dewi Purwanti, S.Psi, tanggal 30 April 2011
- "Using Hypnosis to Educate your Early Learner" oleh Fanny Herdina, M.Psi, tanggal 1 Mei 2011
- "Developmental Milestone" oleh Paramita Elly, Psi, tanggal 7 Mei 2011
- "Physical Development" oleh Irma Sukma Dewi, Psi, tanggal 8 Mei 2011
- "Emotional Maturity and Social Skill Development" oleh Rosana D. Yunita, M.Psi, tanggal 21 Mei 2011
- "Language and Cognitive Development" oleh Zahra Fajardini, M.Pd tanggal 22 Mei 2011
- "Understanding the Differentialy Abled Children" oleh A. Kassandra Putranto, Psi tanggal 28 Mei 2011
- "Early Learning for Children with Down Syndrom" oleh Prof. Dr. Eric Lim, tanggal 29 Mei 2011
Demi sebuah cita-cita besar meski hanya mencoba jujur adanya dan mohon maaf jika ada kata yang terlalu keras.