Ngayogyokarto Hadiningrat, tentunya didirikan bukan untuk sebuah permainan kekuasaan tertentu saja. Perkembangan mengapa ada monarki, ada raja dan pemerintahan, bukanlah sebuah guyon dagelan untuk diperdebatkan dan didiskusikan, mungkin saja hal itu terjadi karena perjalanan yang sangat panjang melalui banyak liku.
Bahkan mungkin pada zamannya dahulu sistem kemasyarakatan juga melalui proses demokrasi dalam memilih para pemimpinya secara naluriah hingga kemudian mentok dan mendapatkan sesuatu. Mengapa selalu dinamis tentunya tergantung pada siapa memanfaatkan siapa dan untuk apa, toh hirarki tetep ada dan selalu saja ada. Mereka yang berkuasa selalu saja dengan nalurinya akan mempertahankan dan menindas musuhnya.
Hanya pemimpin sejati yang bisa memberikan apa yang dimilikinya untuk memenuhi tuntutannya sebagai pemimpin bukan dalam rangka melanggengkan kuasanya, karena kuasa hanyalah akibat dari percikan kebijaksanaan yang seharusnya, bagai sebuah mata air yang melegakan alam sekitarnya. Kebijaksanaan bisa muncul dari manapun, belum pasti hasil diskusi para pakar maupun seorang presiden yang dibantu oleh puluhan menteri serta staff ahlinya dapat mengeluarkan kebijakan yang benar-benar bijaksana, karena bagaimanapun kepintaran hanyalah sebuah awal mula dari kebijaksanaan.
Siapapun bisa lupa, siapapun bisa lalai, normal dan wajar, namun ketika itu dilakukan oleh sebuah pucuk kekuasaan tentunya bukan alasan pembenar yang diperlukan, ataupun permintaan maaf, ketika terjadi berulang dan tanpa ampun dalam masa periode yang jujur saja itu tidak perlu diagung-agungkan. Salah omong bukanlah sebuah standar kekuasaan atau kebijakan memang, siapapun bisa salah, namun ketika janji ketika akan meraih sesuatu tiba-tiba batal adalah sebuah pembodohan yang tentu saja sangat memalukan. Bukan hanya saat dengan gegap gempita akan mengganti kerugian ternak ataupun sapi-sapi milik korban erupsi gunung Merapi yang ternyata hanya isapan jempol belaka, mungkin saja banyak orang lupa, mafhum dan memaafkan, karena sudah tak bisa lagi berbuat sesuatu, daripada tidak bisa makan esok hari.
Namun ribuan telinga yang mendengar dan hati yang terluka karenanya sudah barang tentu hanya bisa diam seribu bahasa dengan perihnya luka karena harap dibalas dengan cidera. Bukan hanya itu, ketidakmampuan memelihara kekuasaan tampaknya hanya dibela oleh orang-orang yang pandai bervokal dan bersuara menyuarakan sesuatu yang tidak prinsipil sebenarnya. Ketidakpuasan seperti ini hanyalah akan memicu bom waktu kekerasaan dan anarki yang menjadi-jadi, siapapun saat ini pastinya tidak akan mampun menahan gejolak-gejolak tersebut hanya menunggu pemicu dan jaminan nyata akan kebaikan di masa depan untuk kemudian dapat meluluhlantakkan ketidakpastian yang tercipta dan didesain untuk nantinya memunculkan rasa percaya bahwa penguasa saat inilah yang bisa dan dapat melanjutkan pemerintahan bejana kosong ini.
Entah siapa yang tidak jelas saat ini, seperti ketika pemilihan tempat relokasi para korban yang kampung halamannya dilalui awan panas merapi. Diserahkan kepada pemerintah desa setempat, karena tanah kas desa adalah administratif milik pemerintahan desa setempat. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, seakan bahwa erupsi besar Gunung Merapi yang terjadi periodik 2 kali dalam sepuluh tahun sejak beberapa dekade ini, serta aktivitas vulkanik yang demikian hiperaktif hanya disikapi dengan apa adanya tanpa ada upaya yang jelas-jelas memberikan manfaat dalam jangka panjang. Seperti misalnya bahaya lahar dingin yang setiap saat mengancam, juga berkurangnya hutan karena rusak oleh awan panas ataupun lava pijar merapi.
Tidak ketinggalan bahaya pemanasan global karena semakin hancurnya hutan karena dipakai sebagai daerah pemukiman. Sama sekali tidak ada advokasi tentang kelestarian hutan, daerah serapan air bahkan rakyat penghuni lereng merapi pun dibiarkan tanpa ajakan yang bermakna untuk hidup di daerah aman, dengan latarbelakang aktivitas gunung merapi yang sangat berbahaya dan sulit diprediksi. Betapa mencengangkan memang ketika dalam status siaga, daerah rawan bencana Merapi hanya sekitar 2,5 kilometer dari puncak. Kemudian para warga kembali berduyun-duyun kembali ke rumahnya untuk hidup berdampingan dengan bahaya.
Siapa yang peduli dengan hal itu, bahwa jika radius 10 kilometer dari puncak merapi menjadi sebuah kawasan hutan nasional tentunya akan lebih bijaksana. Sangat mahal memang namun dengan kekayaan dan kuasa kraton jika memiliki niatan tentunya tanah milik sultan atau sultan ground bisa menjadi solusi dahsyat demi kenyamanan dan ketertataan daerah istimewa Yogyakarta. Diskusi-diskusi panjang untuk penataan ini tentunya sangat diperlukan karena menyangkut hasrat hidup orang banyak. Namun demi kesimbangan alam dan penghormatan atas kemanusiaan tentunya berbagai jalan indah membentang di depan.