Menuju Rumah Budaya Jogloabang

Rumah Budaya Jogloabang
 

Menuju Rumah Budaya Jogloabang

Seni tradisi harus memiliki rumah. Sebuah rumah yang berisi tentang repositori seni tradisi budaya di Indonesia. Ihwal seni tradisi dan budaya yang mungkin tidak lebih dari dua dasawarsa lagi mungkin akan punah. Menjadikan sebuah impian ketika kelak anak-anak muda ingin kembali menelusuri dan mempelajari tradisi seni budaya yang sudah musnah, kesulitan dan tak memiliki tempat yang meyediakan bahan-bahan untuk dipelajarinya. Rumah Budaya Jogloabang akan mencoba menjembatani hal tersebut dengan dipadu cara yang mudah, dokumentasi atau apapun yang masih bisa diselamatkan saat ini.

Budaya seni tradisi berasal dari alam pikir manusia, menjadi masterpiece atau mahakarya seseorang atau komunitas pada zamannya. Tidak mungkin tidak memiliki keterkaitan dengan teknologi yang tercipta dan berkembang pada saat tersebut. Teknologi, budaya dan seni tradisi maupun pendidikan adalah mozaik-mozaik keberadaan dan perkembangan manusia. Semuanya saling mendukung dan tidak ada salahnya untuk mencampuradukkan itu kembali menjadi sebuah kemasan Rumah Seni Tradisi Indonesia.

Mengapa kemudian saat ini kebudayaan dan seni tradisi seakan bunuh diri. Bukan karena bunuh diri sebetulnya, namun budaya dan seni tradisi yang dahulu dianggap sebagai budaya dan cipta adiluhung karena memang tidak mencontek dan copy paste dari sana dan sini tidak lain adalah kemaujudan perkawinan antara cipta, rasa dan karsa peradaban manusia dan alam sekitarnya menjadikan kita masih ada sampai saat ini. Bukan bernostalgia atau lebay dengan kisah masa lampau namun potret tentang peradaban dan apa yang dinamakan jati diri sebagai sebuah komunitas bersama memiliki momentum-momentum atau pilar-pilar yang akan selalu kita cari tanpa harus menyadarinya, karena tertanam pada memori kolektif yang terinstall secara default dalam DNA kita.

Tidak perlu semua orang harus menyadari adanya budaya dan seni tradisi akan hilang, karena peran yang dipahami dan dicetak dalam pabrik-pabrik kehidupan memiliki fungsi sendiri-sendiri. Ada yang saling menguatkan, ada yang saling menghancurkan. Mozaik tesebut menjadi taksonomi yang saling mengisi dan mengetahui seberapa rapuhnya semesta diri sendiri. Namun ada saatnya untuk sadar ketika semua telah lelah atau tiada pemenangnya, karena begitulah yang selalu terjadi.

Apatisme adalah musuh kita bersama, memang tidak banyak yang menyadari bahkan menganggap hanyalah omong kosong belaka. Memang tiada hasil yang cukup untuk dihitung secara material. Apatisme-apatisme menjadi sebuah protes naluriah yang terjadi karena tidak ada jalan keluar, namun karena tidak berbuat apa-apa dan buah dari budaya instan yang tentu saja menggerus sesuatu yang lebih naluriah sebagai manusia. Ketidakpedulian karena tidak uang atau materi untuk memperkaya diri dilakukan secara munafik oleh para petinggi dan birokrasi dengan caranya untuk melakukan prinsip ekonomi yang salah yaitu dengan modal seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Hal inipun diketahui dan ditiru orang biasa ketika terjadi pertarungan politik dan mereka tidak melihat selain hanya uang yang diperebutkan.

Ketidakpedulian memberangus semuanya, hal ini tak disadari bahwa terjadi bukan karena proses. Proses penggelembungan apatisme tidak lain karena penderitaan dan ketidakbecusan dalam proses bernegara, berbudaya, berpendidikan hingga berkomunikasi. Komunikasi adalah budaya dasar, seni tradisi yang semakin hilang meski tergantikan dengan teknologi, namun ketika ngomong tentang teknologi siapatah yang bisa mengaksesnya, dan berbagai kelas yang saling menghujat karena hanya penggunaan merek gadget. Tidak ada lagi hal yang mencerminkan nature intelegensia yaitu perpaduan antara hati dan otak. Karena terselimuti oleh gaya hidup, gaya hidup yang semakin meninggalkan seni tradisi dan budaya sebagai akar atau anak tangga mengapa kita sampai dan masih bertahan hingga sekarang..

Jangan berhenti melakukan perubahan !

[ Foto : ]

Atas