Mati adalah titik, titik akhir atau sudah tak berkutik. Banyak orang putus asa atau tega mengakhiri hidupnya untuk mati, karena mungkin sudah tak memiliki lagi harapan atau daya untuk menyelesaikan permasalahannya. Hal itu mungkin juga karena terlalu berat dan rumitnya masalah yang dihadapinya. Juga banyak yang tidak siap untuk mengahadapi dan bahkan mendengar kata 'mati' pun sudah sangat takut, bukan karena terlalu cinta akan kehidupan namun tak terbayang lagi ada apa dan mengapa harus berakhir. Mati banyak digambarkan sebagai sebuah kegelapan, gelap yang benar-benar tak bisa diketahui ada apa sebenarnya dengan mati.
Tidak sedikit orang yang sangat akrab dengan kata mati atau kematian, karena profesi maupun karena tugas. Orang yang memiliki profesi sebagai pembunuh, pembunuh bayaran ataupun banyak kata sinonim lainnya, para pekerja kesehatan, juga para penyelamat ketika bencana atau kecelakaan sangat akrab dengan kematian. Mereka sudah terbiasa melihat kematian, baik itu klien, musuh ataupun para pasien atau orang-orang yang harus diselamatkan dari sakitnya sebisa mungkin.
Tak sedikit orang yang sombong juga dengan mengatakan berdasarkan ilmu kejawen tentang kematian, mereka seakan tahu ada apa dengan mati sehingga kadang hanya diibaratkan dengan sebuah kata kias yaitu 'membunuh keinginan atau harapan'. Mereka rela dengan bunuh diri masal dengan tagline 'narimo ing pandum' dan sebagainya dan sebagainya. Orang-orang seperti ini kadang terlihat bijak dalam berkata-kata namun dalam hatinya tidak ada yang tahu, siapa dia dan apa yang sebenarnya yang dia inginkan, bahkan mungkin dirinya sendiri pun tak pernah ditemukannya. Bisa jadi pemahaman ini hanya karena pengidolaan dan kepercayaan yang hanya melihat permukaan atau mungkin juga 'mencuri dengar'.
Mati Sakjeroning Urip
Kalimat 'Mati Sakjeroning Urip' terlihat sebagai sebuah kata yang sangat tinggi maknanya. Kata-kata yang hanya bisa diucapkan oleh orang-orang yang memiliki SK sebagai wali, atau auliya Allah SWT. Kalimat yang sarat makna maupun rawan pemaknaan ini ada dalam kajian-kajian filsafat tentang kesempurnaan hidup orang Jawa. Dan sebaiknya dihindari penggunaan kata-kata ini bagi yang tidak benar-benar memahami tentang kehidupan, makna maupun tujuan dari hidup itu sendiri.
Letak dan siapa yang bisa memaknai tentang 'Mati Sakjeroning Urip' adalah sesiapa yang sudah menjadi insan kamil, sempurna dalam semua tugas hidupnya tanpa cacat, perfect, harmonis dan entah apa yang bisa dikatakan atau definisi lainnya. 'Mati Sajeroning Urip' dalam bukan kata kias juga tidak sama dengan kata 'Kere Rauwis-uwis', ataupun kalimat berdenotasi negatif lainnya.
Perkembangan zaman memang semakin menjauhkan dari makna yang sebenarnya dan seharusnya, mungkin ini konteks, namun semua menjadi berubah, dari hidup yang seharusnya sederhana menjadi sangat kompleks, meskipun itu dibuat sendiri oleh orang yang hidup dan tentunya pendidikan yang menghambat loncatan. Semua harus sekolah pendidikan dasar 12 tahun, dan untuk mendapatkan gelar tertentu harus menjalani syariah-syariah menghapalkan kajian dan teori dari patron-patron ilmu pengetahuan yang entah apa artinya ketika diimplementasikan dalam kehidupan, selain hanya untuk mencari uang.
Menemukan diri sejati
Menemukan diri sejati bisa dipelajari ataupun bisa mendengar riwayat dalam wayang seperti ketika Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Sekelumit kisah itu bisa membuat ribuan cerita, namun tak ada yang tahu apa hubungannya Dewa Ruci dengan Bima itu sendiri, bagaimana status sosialnya maupun apakah hanya cerita itu yang bisa menggambarkan tentang penemuan diri sejati? Mati Sakjeroning urip, masih jauh berada di tempat lain, bahkan ketika sudah menemukan diri sendiri. Ketika menemukan sejatinya diri, kemudian mengetahui apa takdir dan panggilan hidupnya, bukan sebuah kesempurnaan hidup ketika hanya menjalaninya saja. Banyak kesempatan lain sebagaimana kata mutiara dari Sayidina Ali 'Ketika merbuka satu pintu, maka akan terlihat tujuh pintu lain di dalamnya' (terjemahan asal ingat).
Bohong ketika bisa menemukan kesejatian dan makna hidup, namun tak menemukan Siapa yang membuatnya bisa Hidup. Banyak tokoh terjerembab dalam permasalahan ini, merasa sudah sakti dan pintar, kemudian menafikan hal yang lainnya. Mereka akan menjadi manusia biasa kembali yang tidak memahami hidup karena masalah sepele. Mengerti jelas lebih cetek daripada yang paham, karena yang paham akan melakukan kebaikan dan menjalani kehidupan dengan tujuan kesempurnaan hidupnya, bukan untuk sekedar berkata-kata dan menjalani kehidupan semaunya. Mungkin tidak menyakiti siapapun dalam lingkungan sosialnya, namun bagaimana dengan orang tua, atau siapapun yang harus mental karena disakitinya.
Banyak juga orang yang mempercayai siapa diri sejati adalah ketika mengenal tentang 'Sedulur papat kembar lima pancer' yaitu Aluamah, Sufiyah, Amarah, mutmainah dan diri secara fisik. Tak dipungkiri hal ini sangat teramat sulit bahkan mungkin dianggap sesat. Dari lima hal tersebut pun ketika dipecah lagi akan menjadi banyak unsur yang tidak akan pernah selesai dengan mudah untuk memahami bagaimana strukturnya, karena tidak mungkin dan terlalu naif ketika lima hanya diterjemahkan sebagai lima. Setelah itu orang akan dianggap sebagai pemaham ilmu tua, dan setelah tua terus mau apa, mati?. Mungkin dan biasanya memang begitu, dan tak akan pernah sampai pada tahapan kesempurnaan hidup. Hingga bahkan kematian dianggap sebagai penyempurnaan akan hidup itu sendiri, sempurna dalam arti selesai, meski tugas-tugasnya tak dapat dikerjakan semua, namun selesai karena waktu habis.
*/Disclaimer : posting ini sama sekali jauh dari serius. Apalagi cerita Dewa Ruci, pada awalnya adalah penipuan Kurawa.