Nietzche-lah yang pernah mengabarkan kematian Tuhan, tentu saja tuhan yang ada di kepalanya sendiri, entah yang ada di hatinya. Tuhan, Surga dan Neraka dengan mudah akan ditutup dan dikalahkan dengan logika, logika menurut yang punya tentunya, sebatas kekuasaan otaknya akan ilmu pengetahuan. Tidak ada yang bisa disalahkan dengan itu karena terkemas dalam riset dan penemuan yang akan memperkaya khasanah pengetahuan dan wacana. Namun apakah wacana dan pengetahuan yang bisa menghidupi seseorang tersebut hanya sebatas hiburan semata. Tentu saja tidak, dia bisa berubah menjadi sebuah kekuasaan bahkan otokrasi yang sangat sombong dan mendominasi 'kebenaran' (dalam dua tanda kutip).
Perang-perang pemikiran sangat asyik untuk diperhatikan. Mereka semua berusaha untuk membangun kemanusiaan semampunya. Perangkap konteks dalam luasnya kuasa pengetahuan kadang hanya berlaku bagi orang-orang yang bisa memahaminya. Terlepas dari permasalahan yang dihadapi dan emosi yang sedang mengemas pandangannya ketika sedang menuju goal-goal tertentu dalam kehidupannya. Kemanusiaan akan selalu berkembang tidak terhingga sesuai kedalaman dan ketinggian logika, hingga puncaknya yang nanti akan seperti apa, masih sulit untuk dibayangkan.
Beberapa orang yang tercerahkan mampu menulis seperti ini:
....pilihan seseorang pengambil keputusan dalam menetapkan suatu kebijakan publik tidak pernah bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh ideologi dan paradigma terhadap paham keadilan yang dianutnya sehingga selalu akan ada yang diuntungkan ataupun disingkirkan. Padahal, pilihan suatu teori sosial sebagai pendekatan untuk memecahkan suatu permasalahan keadilan sosial tidaklah berkaitan dengan benar salahnya suatu ideologi dan teori mengenai keadilan sosial tersebut, melainkan suatu pilihan subjektif. Dengan begitu, ditetapkannya suatu konseop keadilan sosial dan dipinggirkannya teori keadilan sosial yang lain lebih disebabkan oleh kemampuan suatu teori atau analisis sosial memenangkan dan untuk menyingkirkan teori atau analisis lain. Bahkan, bagi Ritzer (1975) kemenangan suatu teori atau analisis sosial terhadap teori yang lain itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut teori yang dikalahkan dan sekali lagi bukan karena teori tersebut lebih benar atau lebih baik dari yang dikalahkan.... [ Analisis Kritis Diskriminasi terhadap Kaum Difabel ]
Logika akademis mampu mencipta dan menemukan teori secepat kilat dengan sampel dan riset yang panjang. Hal ini tidak lama lagi akan bahkan mungkin sudah akan mengalahkan kuasa pengetahuan tradisional (jawa misalnya) yang terkenal dengan ilmu titen. Titen memang sangat misteri, memerlukan penjelasan yang panjang, namun kadang sangat gamblang tanpa perlu penjelasan, merupakan khasanah kekayaan pengetahuan dalam arti dan ruang yang lain. Sebuah ruang yang lebih dalam dan bernama Rasio. Logika bisa menunjuk kuasa sebagai tak terhingga, namun rasio bisa menjelaskan ada apa di dalam 'tak terhingga' tersebut.
Logika, intelijensi merujuk pada cipta, seluruh daya cipta dan karya cipta dapat melalui jalur ini. Sementara belum diketahui apakah logika bisa mengukur kedalaman rasa, rasa ketika rohani otak bisa menerawang ke angkasa yang hanya bisa dijelaskan dengan rasio, sementara menunggu update logika untuk menjelaskan dan mencapainya.
Seperti gambar tentang tempat-tempat pemujaan Tuhan atau dewa yang berada di ketinggian dan kesepian. Bagaimana menjelaskannya selain hanya untuk mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri dan mengucilkan diri dari keramaian untuk mendekatkan pada sesuatu yang sangat sulit untuk dijelaskan.