Intoleran dan Independen, dua kata yang memiliki konteks lain. Independen menjadi kata-kata kondang lagi karena pencalonan Ahok menuju Gubernur DKI. Intoleran menjadi kata yang paling dibenci karena kasus penggerebegan Monolog Tan Malaka di Bandung oleh Kelompok Intoleran atau lebih dikenal dengan FPI dan kroco-kroconya. Dua kata yang jika dijadikan satu menjadi memiliki arti yang lebih sangar "Independen dan Intoleran".
Kelompok Intoleran jelas dapat kita baca siapa dia dan darimana akarnya. Meski kelompok intoleran juga memiliki otak, yaitu otak untuk memperkaya diri dari bisnisnya 'intoleran' dengan menjual 'ayat-ayat' yang hanya disenanginya saja, yaitu ayat-ayat suci yang mendukung intoleransi, dan menihilkan ayat-ayat suci tentang kasih sayang, toleransi maupun yang menghormati kemanusiaan.
Kelompok intoleran ini tidak memiliki sejarah yang jelas, serta jelas tidak akan pernah menghargai sejarah, karena mereka akan membuat sejarah sendiri, dan hanya menyukai sejarah yang menurut pendapatnya layak untuk dikatakan sebagai sejarah. Mungkin ada cerita masalalu tentang kelompok intoleran ini di nusantara pada masa lalu namun sepertinya dapat dikalahkan oleh nenek moyang kita.
Orang-orang intoleran ini secara independen mencari dan menemukan kembali semangat intoleran dari perang-perang yang dilakukan dalam sejarah Islam, karena mereka bernaung di bawah bendera tersebut. Mereka seperti nabi baru yang hadir di kerumunan abad 21, dan celakanya nabi baru ini memiliki referensi apa yang dilakukan oleh Nabi Besar, sayangnya juga Nabi Besar penulis. Namun mereka menggunakan justifikasi yang benar-benar membingungkan. Contohnya saja, mengapa mereka menyerang Monolog Tan Malaka, tanpa mengetahui siapa sebenarnya Tan Malaka.
Sudah pernah hadir di Pulau ini, di Pulau Jawa, para nenek moyang kita yang memiliki keahlian dan keilmuwan tentang agama Islam. Mereka bahkan disebut sebagai para Waliyulloh. Aulia yang dikasihi Tuhan semesta alam. Tentunya para auliya ini juga adalah panutan para raja-raja Jawa pada zamannya. Meski pernah ada transisi dari agama Hindu ke Islam yang menurut hikayat, paling mulus dilakukan oleh Syeh Siti Jenar kepada Ki Ageng Pengging Sepuh.
Juga kalo kita ingat semasa kanak-kanak dalam pelajaran sejarah maupun IPS, kita mengenal istilah 'akulturasi' yaitu penyatuan dua budaya menjadi budaya yang baru tanpa saling menisbikan satu sama lainnya. Karena pada dasarnya Agama Kejawen yang dikenal atau kadang disebut mirip dengan Agama Hindu, sudah ada sejak lama bahkan tidak diketahui sejak tahun berapa.
Bisakah kelompok intoleran tersebut mengatakan bahwa para wali yang ada di Jawa yang beranak pinak dan memiliki banyak sekali keturunan, dimana para kyai baik di desa maupun di pesantren-pesantren mengaku bahwa mereka adalah keturunan atau penerusnya adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan yang mereka 'kafirkan'. Hal ini pernah dicoba pastinya dalam beberapa waktu tentang perusakan makam di Jogja. Dimana para peziarah atau kegiatan berziarah dianggap sebagi syirik.
Kelompok intoleran yang suka mengkafirkan kelompok lain, juga bergerak untuk menentang dan mengeluarkan fatwa-fatwa tentang Ahmadiya, Syiah dan kelompok-kelompok penganut kepercayaan. Kelompok intoleran ini juga bergerak menentang LGBT hingga juga kegiatan sosial yang dianggap sebagai gerakan kiri atau komunisme. Cukup membuat bingung juga mengapa aparat keamanan tidak bisa menanggapi gerakan orang-orang seperti ini yang kerap kali disebut sebagai Islam Radikal.
Ketiadaan pimpinan tertinggi dalam kelompok Islam memang membuat perilaku dan munculnya kelompok baru yang saling bermusuhkan karena memiliki referensi dan ingatan yang berbeda. Aliran-aliran besar yang kemudian pecah, memunculkan kelompok baru dengan pegangan ayat-ayat dan hadits-hadis yang hanya disukainya menjadikan konteks beragama yang sangat semrawut. Kelompok agama yang cukup besar inipun terpecah belah, masih aktif saling membunuh, saling mengebom hingga menghilangkan catatan-catatan, buku-buku atau mutiara peradaban-peradaban Islam. Menjadikan generasi yang akan datang semakin jauh dan tidak mengetahui ada apa sebenarnya.
Internet memiliki sumbangan besar kepada kelompok intoleran ini, menjadi orang-orang intoleran dan independen. Mereka belajar sendiri, membaca sendiri, menginterpretasikan sendiri dan mengambil keputusan sendiri menjadi intoleran independen. Mengapa bisa begitu? Jelas karena setiap insan memiliki pertanyaan tentang siapakah, dari manakah, untuk apakah, kemanakah hingga bagaimanakah dia bisa survive di dunia, dan akhirnya juga mengetahui kehidupan setelah mati dan akhirat. Sehingga akan ada proses bagaimana mendapatkan kenikmatan abadi di surga dengan cara-cara yang didapatkannya dari apa yang dia pelajari, baik dari lingkungan, pendidikan, ataupun bacaan-bacaan baik buku maupun dari internet.
Mereka menjadi independen dan intoleran fundamental, karena mendapatkan dan mencari dengan upayanya sendiri-sendiri. Meski di desa-desa, para perangkat desa ketika membuat RPJMDes dan APBDes untuk mendapatkan Dana Desa banyak yang membangun infrastruktur rumah-rumah ibadah. Namun hanyalah sebuah rumah ibadah tanpa ada konten pendidikan di dalamnya, sebagai tempat belajar agama dan banyak hal yang terkelola secara rapi. Untuk mendapatkan pendidikan harus ke sekolah-sekolah yang tentu saja dengan kurikulum dan jam pelajaran umum. Sementara untuk mendalami hal gratis seperti pengetahuan tentang kehidupan beragama harus dengan biaya mahal di Universitas. Dimana di Universitas mereka akan bertemu dengan tokoh-tokoh atau kader-kader radikal yang siap menjerat di kegiatan-kegiatan kemahasiswaan.
Belum lagi tentang Gafatar yang sangat kasihan itu. Kasihan karena perlakuan yang diterima. Mungkin saja Gafatar adalah kelompok intoleran yang independen juga namun menjadi pertanyaan besar di kepala banyak orang yaitu tentang bagaimana kelompok tersebut bisa laku, memiliki pengaruh dan mendapatkan pengikut. Sebenarnya jauh lebih penting adalah pertanyaan bagi kita sendiri bahwa mengapa kelompok-kelompok tersebut harus ada dan hadir dalam sebuah kehidupan yang sebenarnya sudah memiliki akar dan budaya?