Fenomena Aplikasi Transportasi Online dan Kita

demo taksi
 

Fenomena Aplikasi Transportasi Online dan Kita

Pertarungan bisnis angkutan darat sedang mengemuka. Mengemuka karena ada demo dari PPAD dan pengemudi taksi di Jakarta. Sebenarnya pertarungan macam ini antara pengusaha taksi model lawas dengan pengusaha jasa angkutan model baru menggunakan aplikasi juga terjadi di banyak negara. Bahkan sudah beberapa bulan atau mungkin lebih dari setahun lampau. Namun tentusaja para konsumen di negeri ini juga menunggu kehadiran moda transportasi yang baru dan menjanjikan kenyamanan tersebut, apalagi murah.

Pertarungan inipun membuka banyak orang untuk melihat dan berpikir seperti yang dituliskan Professor Rhenald Kasali di tulisan Selamat Datang Sharing Economy di Koran Sindo, juga tulisan Nukman Luthfie di Kompas yang berjudul Pengusaha Taksi Melawan Konsumen Mereka Sendiri. Rhenald Kasali menyoroti tentang persaingan model bisnis antara bisnis model lawas yang oligarki dan bisnis model baru yang berbasiskan crowd. Professor ini juga menyarankan sperti yang dituliskan Nukman bahwa pengusaha seyogyanya dapat beradaptasi dengan konsumennya, bukan lebih arogan dan memungut laba tanpa mempedulikan hak-hak dan kenyamanan konsumen sebagaimana konsep layanan yang baik.

Di bisnis taksi konvensional, kita bukan hanya harus membayar jasa angkutannya, tetapi secara tidak langsung juga mesti menanggung biaya kredit mobilnya, gaji pegawai perusahaan taksinya, biaya listrik dan AC, dan sebagainya. Di bisnis taksi berbasis aplikasi, kita tidak ikut menanggung biaya-biaya tersebut. Jadi, tak mengherankan kalau tarifnya bisa lebih murah. Kolega saya pernah membandingkan.

Sikap pemerintah pun jelas, sebagaimana Pak Presiden Jokowi yang memaksa Menteri Batalkan Kepmen Jonan, Gojek Apresiasi Ketegasan Jokowi. Nampak benar coreng moreng dalam regulasi kita yang hanya mementingkan bagaimana pemerintah bisa mengatur, memungut pajak dan melindungi pengusaha, meskipun para pengusaha mengkhiaanati negara dengan tidak menunjukkan layanan prima kepada konsumen. Tidak ada respon cepat dari legislator untuk membuat regulasi yang bisa berdamai dengan kemajuan zaman. Tampak sangat jelas sekali dalam hal ini kepentingan rakyat harus dimoderasi untuk kepentingan para pengusaha dengan dalih pajak. Seakan pajak atau retribusi menjadi alat ukur resmi tidak resminya sebuah moda layanan berlangsung. Sungguh sayang dan dengan kualitas respon dari atas yang seperti itu, memang rakyat tidak mendapatkan salurannya. Beruntunglah saat ini ada media corong informasi dari bawah yang bisa menginformasikan atau menjadi ajang keluhan masyarakat, meskipun penyedia layanan tersebut juga dari luar negeri dan mungkin tidak bayar pajak juga, seperti Facebook dan Twitter. Namun apa boleh buat, demo dan pertikaian sudah terjadi.

Penggunaan aplikasi dalam smartphone memang memudahkan meskipun ada prasyarat di dalamnya seperti harus memiliki smartphone, bisa mengoperasikannya dan berisi pulsa atau memiliki koneksi data (yang itupun dijual berdasarkan kuota). Bisa membaca peta online, memahami konsep map atau GPS tagging, dan dituntut keaktifan oleh pengguna layanan, maupun penyedia layanan. Belum lagi di sisi penyedia layanan yang harus mendevelop aplikasi yang tidak murah, aman dan mampu menjangkau serta digunakan ribuan user dalam waktu yang bersamaan. Jelas membuat ini lebih sulit daripada membuat regulasi yang dapat membela baik konsumen dan penyedia layanan yang hanya tinggal diketik dan ditanda tangani, dan memiliki akal sehat. Pengemudi pun harus memiliki smartphone, GPS, bisa mengoperasikannya, pulsa dan juga kendaraan untuk digunakan menjadi penjual jasa layanan angkutan, yang penilaiannya pun dilakukan sendiri oleh kustomernya. Benar-benar pusing bagi pemerintah dan pengusaha konvensional yang tahunya hanya bagimana menarik pajak dan laba, karena sudah mendirikan perusahaan dan ijinnya.

Sumber: Dhandy Laksono Facebook

Fenomena Transportasi berbasis Aplikasi dan Kehadiran Negara

Fenomena dari Gojek, Uber sebagai contoh dari layanan transportasi berbasis aplikasi online dan pengusaha serta sopir taksi biasa yang tarifnya agak aneh, dengan argo, kadang sopirnya (pura-pura) tidak tahu arah (atau memang beneran tidak tahu arah). Fenomena demo taksi di Jakarta ini sungguh sangat menyedihkan dan menyesatkan. Mereka para pengusaha yang sudah tumbuh lama dan memiliki modal dan laba banyak itu pernah mendevelop aplikasi juga namun tidak disertai dengan pelatihan atah keharusan bagi sopir-sopirnya untuk meningkatkan kapasitasnya. Dan pemberontakan pun muncul atas regim yang tak mau berkompromi dengan keadaan ini. Jelas meskipun nantinya sistem layanan angkutan transportasi berdasarkan aplikasi online ini dijadikan ilegal, para konsumen tentu lebih memilih yang ilegal, dan tak peduli lagi keputusan pemerintah. Sepertinya memang kehadiran negara jika tak berpihak dengan para konsumen pun menjadi kehadiran yang tidak diinginkan.

Kita ini memang benar-benar sangat kasihan. Jika membayangkan sebagai warga Jakarta apalagi, dengan kondisi geografis, model transportasi, pengguna dan infrastruktur jalan. Sungguh sudah lama ada disuarakan para netizen ketika berkendara, bahwa harus mengatur emosi dan sebagainya demi menghadapi kemacetan, yang tak ubahnya hanya pindah parkir namun di jalan raya. Tak pernah terbenahi dengan skema transportasi yang lebih baik, infrastruktur yang lebih aksesibel dan aman, dan yang disalahkan adalah para pemilik kendaraan pribadi yang membeli kendaraan demi kemudahan transportasinya. Sebagaimana kita menerima batas-batas wilayah pada saat merdeka tanpa berpikir jauh apa maksud Belanda dahulu yang membaut batas-batas kota dan kabupaten yang berliku-liku seperti batik atau vignete, atau iler.

Sudah jelas meskipun kita memiliki presiden yang adalah kita, katanya dulu pas kampanye Jokowi. Yang ternyata nantinya adalah bukan kita, karena sangat tidak mungkin kita akan menaikkan pajak kita dan berbagai harga contohnya listrik yang merugikan kita sendiri, dan tak pernah membela kita yang kehausan dan muring-muring karena kuota bandwith yang sangat wagu dan tidak rasional, padahal mimpinya kita adalah palapa ring untuk broadband seluruh Indonesia, namun itu ternyata adalah ring yang menjerat leher kita sendiri, tentunya mereka sudah bukan kita lagi, karena pikirannya bukan pikiran kita.

Fenomena transportasi model baru memang didesain untuk mempertemukan penyedia jasa layanan dengan konsumennya. Namun pada akhirnya menjadi sesuatu yang menjadi tuntutan pengguna. Karena memudahkan, memberikan rasa aman, mewah, dan murah. Sudah seharusnya negara hadir bukan lagi untuk mengusir seperti yang terjadi terhadap Gafatar ataupun lainnya, namun memberikan rekognisi yang jelas dan apresiasi karena pembuatan aplikasi yang tidak dibiayaai oleh negara. Bayangkan saja negara membuat aplikasi seperti E-KTP dan Profil Desa yang biayanya trilyunan, namun justru sampai sekarang belum ketahuan apakah seluruh warga negara sudah terdaftar atau belum. Pemerintah dan KPK seharusnya memberikan apresiasi pada anak-anak muda yang menyediakan waktunya untuk ini dan hadir sebagai bagian dari solusi untuk memecahkan masalah pelik yang tak akan pernah selesai dirapatkan di ruangan ber-AC, hotel bintang lima, apalagi sambil tiduran atau malah mengkonsumsi narkoba atau yang lainnya, sebagaimana gaya hidup orang-orang yang tanpa masalah sehingga kecanduan dengan masalah. Lupa bahwa mereka seharusnya adalah bagian dari solusi kepusingan rakyat yang berdoapun malah didatangi tentara atau laskar yang merasa lebih berhak berdoa.

[Gambar dari sini]

Atas