Menjadi orang miskin adalah sebuah kesalahan dan dosa besar, tidak ada tuntunan agama apapun yang mengajak untuk miskin, karena jelas tidak bisa bersedekah, menunaikan ibadah dengan khusyuk, dan lain sebagainya. Mungkin itu benar dan memberikan semangat untuk berlomba-lomba menjadi kaya melalui bermacam usaha yang sebisanya dilakukan. Namun ternyata menjadi kaya juga sebuah persoalan besar untuk dapat dicapai karena maraknya persaingan usaha hingga jegal-menjegal dalam peraturan tata kota maupun menjadi seseorang yang bisa mengakses perbankan. Sementara untuk bisa mengakses bank haruslah memiliki barang yang bisa dijaminkan, dengan prediksi harga jual yang semau bank, sekaligus character assasination karena jelata, melarat, miskin sehingga tidak pantas pinjam ke bank.
Agak ganjil juga pidatonya sang mantan Gubernur Bank dalam ketinggian ilmu ekonominya ketika pendeklarasianya menjadi cawapres yang mengatakan akan mengusung ekonomi kerakyatan, demikian pula para kontestan yang lainnya. Pertanyaannya adalah Ekonomi kerakyatan macam apa yang akan mereka usung tentunya dengan program dan tujuan pelaksanaan yang jelas dan harus berpihak kepada rakyat jelata yang menduduki peringkat 80 persen selalu, tidak nambah maupun turun. Sementara bank hanya bisa diakses oleh para pengusaha kelas menengah keatas secara full, dengan diskriminasi kepada rakyat jelata yang biasanya hanya mendapatkan separoh dari proposal kreditnya, meski mereka rajin membayar cicilan, namun karena hal itulah maka para jelata harus mengakses bank plecit (rentenir) yang bunganya naudzubillah..., jika mau jujuir kekuatan hidup mereka lebih hebat dibandingkan kelas menengah yang kadang malah kreditnya macet.
Selama ini rakyat jelata khususnya petani, meskipun memiliki lahan yang luas namun harus kalah dan menerima apa adanya dengan logika kemitraan dengan perusahaan-perusahaan besar, mengapa harus mengalah karena ada kontrak harga jual dan hasil yang ditandatangani di muka, perkara nanti harganya naik sudah bukan tanggungjawab peneken kontrak, segitu ya segitu, jika tidak maka salah satu akan wan prestasi. Meskipun ini banyak terjadi namun hanyalah sebuah ilustrasi belaka, tanpa menuduh sana dan sini... Nasib, mungkinkah...terbawa juga dalam masalah tata kota, sudahkah hak dasar masyarakat terpenuhi semisal dalam hal pembuangan sampah, mandi, maupun buang air besar maupun kecil, sudahkah semuanya tersedia, jika belum maka jangan salahkan mereka yang kencing sembarangan, bukankah hal sepele semacam ini adalah kebutuhan biologis dan mendasar yang harus dipenuhi penyelenggara lingkungan dan kota. Seperti ketika gempa memporak-porandakan DIY yang lalu, dengan seenak hati para pengusaha menaikkan harga bahan bangunan, memang kekuatan untuk membangun secara swadaya ada namun ketika harga naik dan tidak ada kontrol dari yang memiliki kekuasaan maka ketidakadilanpun terjadi dan rakyat jelata hanya bisa megap-megap, meski suara adzan terdengar jauh dengan speaker ratusan watt dari masjid-masjid, tuhan mendengar namun penguasa dan pengusaha mengikuti tujuan hidupnya untuk dunianya sendiri.
Ekonomi rakyat berkembang secara alamiah dan natural, pasar-pasar di desa yang tumbuh dan bermunculan secara spontan, bahkan juga di kota, tidak terencana menjadi ramai dan memiliki arus jual beli yang setiap hari naik, diawali dengan bangunan non permanen, kemudian berubah menjadi kios-kios, alangkah lebih baik ketika pasar-pasar tiban tersebut dipelihara, bukan dirusak, difasilitasi bukan dipindah, diperindah bukan dibakar, tidak dengan serta merta harus dipindah alokasikan ke tempat yang jauh dari pemukiman, sehingga sepi pembelinya. Sementara para pengusaha besar bisa dengan seenaknya membangun mall-mall yang megah di keramaian kota. Ketika mencanangkan ekonomi kerakyatan alangkah indahnya jika para bijak bestari pemilik kuasa itu lebih ramah kepada kondisi unpredictable seperti ini, karena dengan memiliki warga yang mandiri lebih mudah pula untuk memberikan layanan berbayar dalam kesehatan maupun yang lainnya, dan itupun adalah penghasilan daera, sedikit mungkin namun semuanya lega.
Beliau sang mantan gubernur bank inipun mengatakan bahwa ada beberapa hal yang tidak terkait dengan ekonomi global, mungkin bisa diterima nalar, namun apabila harga bahan bakar yang melonjak drastis dari 2500 rupiah, naik tiga kali hingga 6500, dan sekarang turunnya cuman jadi 4500 rupiah, dan berpengaruh langsung kepada persendian ekonomi nasional apa enggak ngelindur sampeyan pak..., perbedaan prinsip antara jelata miskin dan jelata pengusaha adalah jika dalam menghadapi krisis ekonomi seperti ini para pengusaha kaya akan mencoba bangkrut untuk segera menyelamatkan asset-assetnya, namun para jelata miskin akan kehilangan penghidupannya dan mencari selamat untuk bisa hidup sampe besok sore.... semoga ini bukan Eksploitasi Demokrasi untuk mendapatkan lobang kenikmatan menjadi penguasa nomer wahid negeri begajul. Mengutip Professor Mubyarto sang begawan ekonomi kerakyatan dalam artikelnya di tahun 2004: SIAPA LEBIH MERUSAK LINGKUNGAN: ORANG MISKIN ATAU ORANG KAYA? The greatest threat to the equilibrium of the environment comes from the way the economy is organized... ever increasing growth and accumulation (Ravaioli, 1995: 4)
- Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak, siapa biang keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu-kayu yang diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk ekspor, yang semuanya “demi keuntungan”. Siapa yang paling bersalah dalam proses perusakan lingkungan ini? Yang jelas tidak adil adalah kalau yang disalahkan hanya orang-orang miskin saja, sedangkan orang-orang kaya adalah “pahlawan pembangunan”.
- Apabila dikatakan penduduk miskin terbiasa ... “membuang kotoran manusia secara sembarangan yang akan berakibat pada terjangkitnya diare ...” atau “penduduk miskin hanya menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, dan mereka cenderung mengabaikan pemeliharaan lingkungan sekitar”, kiranya pernyataan ini juga tidak adil. Pemenuhan kebutuhan pokok penduduk miskin bukan masalah “hanya”, tetapi “mutlak” harus dipenuhi untuk hidup. Penduduk miskin tidak memperhatikan lingkungan hidup sekitarnya bukanlah karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka melakukannya dengan terpaksa.
- Agar adil kita harus mengakui bahwa kerusakan lingkungan khususnya hutan, disebabkan para pemodal yang haus keuntungan, “memesan” kayu dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri yang memang permintaannya sangat besar pula. Akumulasi keuntungan dan kekayaan yang tidak mengenal batas harus dianggap sebagai penyebab utama kerusakan/pengrusakan hutan, bukan karena orang-orang miskin banyak yang merusak hutan. Maka untuk menjamin terjadinya pembangunan yang berkelanjutan kita harus menghentikan keserakahan orang-orang kaya. Adalah sangat keliru ilmu ekonomi justru memuja “keserakahan”.
- Perkembangan pedagang kaki lima (PKL) yang tumbuh menjamur dimana-mana, yang dianggap merusak lingkungan karena mengotori jalan dan mengganggu ketertiban, juga tidak mungkin ditimpakan kesalahannya pada PKL karena pekerjaan itulah satu-satunya “mata pencaharian” yang dapat dilakukan dalam kondisi kepepet. Ia menggunakan modal sendiri dengan resiko usaha ditanggung sendiri, tidak ada subsidi apapun dar pemerintah, dan memang ada pembeli terhadap barang/jasa yang ditawarkannya. Jadi dalam hal ini lingkungan yang rusak harus diselamatkan melalui upaya-upaya “pencegahan” munculnya PKL, bukan dengan “menggusurnya” setelah berkembang. PKL bukan “masalah” tetapi ”pemecahan” masalah kemiskinan.
- Kesimpulan kita, pendekatan terhadap masalah “pengurangan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan” atau sebaliknya terhadap “pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan strategi penanggulangan kemiskinan” selama ini kiranya salah dan tidak adil, karena melihat kemiskinan sebagai fakta tanpa mempelajari sumber-sumber dan sebab-sebab kemiskinan itu. Akan lebih baik dan lebih adil jika para peneliti memberi perhatian lebih besar pada sistem ekonomi yang bersifat “serakah” dalam eksploitasi SDA, yaitu sistem ekonomi kapitalis liberal yang berkembang di Barat, dan merajalela sejak jaman penjajahan sampai era globalisasi masa kini. Sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah sistem ekonomi pasar yang populis dan mengacu pada ideologi Pancasila dengan lima cirinya sebagai berikut:
- Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
- Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
- Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
- Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
- Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6 Oktober 2004 Prof. Mubyarto - Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM. sumber dari sini