"Apabila selama 10 tahun hasil pendapatan (cukai) industri rokok kretek ditabung, industri kretek bisa membayar utang negara," kata Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran di acara diskusi Masyarakat Bangga Produk Indonesia di Jakarta, Kamis(16/12/2010). Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto mengatakan industri rokok kretek harus dihargai sebagai industri yang berbasis warisan budaya. Sehingga perlu penyikapan yang bijak terhadap industri ini. Ia mengakui sekarang banyak aliran dana asing ke dalam negeri dalam rangka memerangi industri hasil tembakau. Hal ini bisa terlihat dari adanya kampanye anti tembakau di dalam negeri, meski ia mengingatkan kampanye tersebut harus dilihat seimbang apakah tujuan murni dari kepentingan kesehatan atau terselip kepentingan industri rokok putih. Sekjen Kementerian Perdagangan Ardiansyah Parman menambahkan kontribusi industri rokok bukan hanya pada penerimaan negara namun kontribusi penyerapan tenaga kerja hingga jutaan orang mencakup petani dan pekerja pabrik rokok."Kontribusi ekspor industri rokok mencapai US$ 400 juta. Industri ini melibatkan 2 juta petani tembakau," katanya. [ via detikfinance : http://is.gd/8uV0K8 ]. #mdrcct
Hasil riset Wanda Hamilton tentang Nicotin War, bahwa ada sesuatu dibalik kampanye anti tembakau ada kepentingan besar yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT). Menggambarkan kemenangan-kemenangan korporasi-korporasi farmasi internasional dengan suksesnya kampanye global anti tembakau yang mendapat dukungan penuh dari badan internasional kesehatan dunia dan para antek-anteknya. Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Inisitiative) yang merupakan pelaksanaan kebijakan WHO "Health for All in the 21st Century" (Kesehatan untuk Semua di Abad 21) mendapatkan dukungan dana dari tiga korporasi farmasi besar manufaktur produk-produk Nicotine Replacement Treatment (NRT), yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis dan GlaxoWellcome.
Dalam bukunya Wanda Hamilton "Nicotine War" menunjukkan kepentingan bisnis dari korporasi-korporasi farmasi internasional dalam agenda pengontrolan tembakau ini. Kenneth Warner, John Slade, dan David Sweanor dalam artikel berjudul "The Emerging market for long-term nicotine maintenance" (Journal of the American Medical Assn., Oct., 1, 1997), menggambarkan, "... a series of technological, economic, political, regulatory and social developments augurs a strange bedfellows competition in which these industries [tobacco and pharmaceutical] will vie for shares of a new multibillion dollar long-term nicotine-maintanance market".
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dari WHO memberikan momentum yang tepat dan menguntungkan bagi korporasi-korporasi farmasi dalam persaingan tersebut. Setidak-tidaknya ada tiga keuntungan yang diperoleh: pertama, lewat proyek Prakarsa ini industri tembakau dapat dibunuh, setidak-tidaknya dapat dihambat perkembangannya; kedua, pada saat bersamaan industri farmasi dapat leluasa mempromosikan produk-produk therapi penggantian nikotin; ketiga, hal pertama dan kedua di atas dapat dilakukan melalui dan dengan dukungan badan dunia WHO melalui kebijakan dan regulasi yang mematikan industri tembakau dan menghidupkan industri farmasi yang menghasilkan dan menjual produk-produk therapi penggantian nikotin. Dengan dukungan WHO ini juga dua hal di atas dapat dilakukan secara global dan menerobos batas-batas kedaulatan suatu negara. Nampak jelas dalam Advesory Kit WHO berjudul "Leave the Pack Behind" yang dirilis pada tahun 1999. Fokus kampanye WHO saat itu adalah "smoking cessation". Ya, mempromosikan produk-produk dari korporasi farmasi. Hal ini secara jelas dinyatakan Direktur Jenderal WHO, Brundtland yang menyatakan bahwa kita perlu agar semakin banyak yang berhasil berhenti merokok. Saat ini sudah ada treatment yang sangat sukses dengan biaya efektif. Kemudian Brundtland menyebut obat-obat pengganti nikotin seperti permen karet nikotin (nicotine gum), patches, nasa/spray dan inhalers, dan obat-obat non-nicotine seperti bupropion, yang menurut Brundtland punya peluang sukses dua kali lipat untuk menghentikan orang merokok. Dalam advesory kit itu tercantum pula bab khusus mengenai "Pharmacological aids to smoking cessation".
Mulailah kampanye besar-besaran tentang bahaya tembakau, melibatkan banyak pihak terkait utamanya adalah dari bidang kesehatan, pendidikan, bahkan agama yang sempat ada satu sekte di Indonesia mengharamkannya. Badan-badan pegiat anti tembakau ini berkampanye menembus batas administrasi negara, dengan dukungan keuangan yang kuat dan sepertinya sebuah spirit baru tentang kesehatan, dan melakukan banyak upaya hingga peraturan-peraturan dan menghadakan antara orang perokok dan anti rokok dengan sebutan perokok pasif, hingga affirmative action semacam pembuatan smoking room dan lain sebagainya, dan tentusaja para pegiat ini membuat linglung banyak pihak karena kampanye dan dukungan keuangan bahkan riset yang entah apa benar atau tidak namun dengan hasil yang menakutkan setiap insan untuk selalu menjauhi tembakau.
Tidak luput juga upaya menggalang dukungan dari agama-agama seperti pertemuan yang diadakan WHO dengan para pemuka agama dunia di kantor pusat WHO, Jenewa, pada tanggal 3 Mei 1999. Bagi WHO, agama merepresentasikan garis depan baru dalam mendukung suksesnya proyek Prakarsa Bebas Tembakau. Umumnya biaya untuk kampanye dan upaya ini berasal dari korporasi-korporasi farmasi. Salah satu hal sangat penting dalam pelaksanaan proyek Prakarsa Bebas Tembakau adalah ketika WHO yang sejak awal pelaksanaan proyek telah didukung oleh korporasi-korporasi farmasi besar dunia, berhasil meletakkan landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau dengan lahirnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Konvensi ini sangat ampuh untuk mematikan para pekerja yang hidup dari tembakau, dan merupakan bisnis baru yang berbalut itikad baik demi kepentingan kesehatan publik yang selalu bersentuhan dengan udara kotor dan debu mikro dimana tembakau kadang menjadi kambing hitam dan sasaran empuk penyebab kesehatan yang berhubungan dengan pernafasan. Bahkan dalam pasal-pasal konvensi tersebut menyebutkan dengan jelas landasan hukum bagi kepentingan bisnis farmasi dalam pasal 22.(Bagian dari Epilog Nicotin War, Wanda Hamilton, INSISTPress 2010 oleh Gabriel Mahal,S,H, Advokat dan Pengamat Prakarsa Bebas Tembakau di Jakarta via Politik Indonesia)
Pada saat yang bersamaan, dikembangkan berbagai jenis produk NRT untuk merebut peluang pasar global produk ini. Pemerintah Amerika Serikat, contohnya, mendukung pengembangan vaksin nikotin - nicotine vaccines (Reuters, 20/10/2009). Di sisi lain, penggunaan obat-obatan ini bukanlah tanpa risiko. Di Washington, Amerika Serikat, contohnya, seperti diberitakan oleh The New York Times (1/7/2009), otoritas Food and Drugs Administration (PDA) memberikan peringatan untuk hati-hati dan mewaspadai terhadap apa yang disebut sebagai tanda-tanda penyakit mental yang serius (signs of serious mental illness) yang menyebabkan tindakan bunuh diri di antara para pemakai obat-obat ini (New York Times).
Menyinggung soal risiko bahaya tembakau yang sering dikampanyekan para penggiat anti tembakau, khususnya mengenai angka kematian akibat tembakau, mendapat kritikan keras dari orang-orang yang kritis terhadap agenda anti tembakau. Di antaranya Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont.
Robert A. Levy adalah Ketua Dewan Direksi Cato Institute, "a senior fellow" dalam studi-studi konstitusional, anggota dewan Institute for Justice, Federalist Society, dan George Mason University School of Law. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2004, Levy adalah seorang "adjunt professor of law" di Georgetown University. Sedangkan Rosalind B. Marimont adalah ilmuwan dan pakar matematika yang selama 37 tahun telah menjalankan karier di National Institute of Standards and Technology di Amerika.
Dalam artikel yang mereka tulis bertajuk Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths (Regulation, Vol. 21 No. 4, 1998), Levy dan Marimont mengungkapkan bahwa kebenaran adalah korban pertama dalam perang melawan tembakau. Pernyataan 400.000 kematian prematur setiap tahun di Amerika akibat merokok merupakan kebohongan besar. Hal ini hanya merupakan mantra untuk menjustifikasi semua tindakan regulasi dan legislasi tembakau.
Menurut Levy dan Marimont angka kematian ini merupakan estimasi yang di-generated oleh suatu program komputer yang disebut SAMMEC (Smoking Associated Mortality, Morbidity and Economic Costs), didasarkan pada model yang salah, mengabaikan semua aturan mengenai epidemiology, secara cepat menyimpulkan efek rokok terhadap kematian.
Levi dan Marimont memberikan contoh, sebagai berikut: jika Joe Smith yang gemuk, punya kolesterol yang tinggi, diabetes, punya sejarah penyakit jantung dalam keluarga, tidak pernah olah raga, dan.... merokok, meninggal karena serangan jantung, maka dengan menggunakan program SAMMEC itu, faktor rokok muncul sebagai faktor penyebab kematian Joe Smith. CDC (Centers for Disease Control and Prevention, AS) akan menyatakan kematian Joe Smith itu akibat rokok. Faktor-faktor risiko lain diabaikan.
Levy dan Marimont mengungkap pula bahwa perang terhadap rokok dimulai dari setitik kebenaran bahwa rokok itu memiliki suatu faktor risiko kanker paru-paru. Setitik kebenaran ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu monster kebohongan dan ketamakan, serta mengikis kredibilitas pemerintah dan men-subversi rule of law. llmu sampah (junk science) menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda diparadekan sebagai fakta.
Hal senada diungkapkan pula oleh Judith Hatton, co-author buku Murder a Cigarette. Pernyataan WHO tentang bahaya merokok tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik, estimasi, tidak lebih dari Lies, Damned Lies. [via Setitik Kebenaran, Awal Kebohongan Besar].
Negeri Begajul memang sudah tidak peduli dengan efek bagi rakyat dan masa depan kedaulatannya, bukan hanya dipraktekkan dalam urusan asap mengepul ini, namun juga dalam urusan HIV dan AIDS misalnya, bahwa obat Antriretroviral untuk para ODHA pun harus patuh membeli patent dari sana, tidak seperti negara Brazil yang berani melawan demi kesehatan penduduknya yaitu tak peduli dengan patent dan membuat sendiri obat ARV tersebut. Terbukti betapa menderitanya para ODHA karena sangat kesulitan ketika membutuhkan ARV karena ketersediaan yang terbatas. Sungguh banyak hal kerugian bangsa ini karena sesat pikir dan lupa akan arti dan makna kedaulatan yang dperjuangkan para pahlawan saat lalu. Bukan hanya dalam hal-hal diatas namun lebih banyak lagi bukan hanya dengan alasan yang mengada-ada ataupun tidak masuk akal namun juga karena memang berbohong demi kepentingan penguasa mungkin adalah rahasia negara yang tidak boleh dibocorkan karena memang sudah dibeli oleh pihak lain, horotoyoh, lantas memang antek amerika bukan hanya blogger ternyata (lmao).
[dari berbagai sumber]