
Entah seperti apa pendidikan untuk menjadi polisi di negeri begajul. Gara-gara sandal harus ke pengadilan, dengan ancaman penjara yang tidak main-main, 5 tahun penjara. Dagelan? Bukan, ini serius kejadian nyata yang ada di tahun 2012 ini, bahkan katanya pengadilan berlangsung hari ini. Hingga menyedot simpati orang se-nusantara untuk menyumbang sandal sebagai ganti sandal yang di curi, kebetulan sandalnya polisi, sekalian malah sandal tersebut di kirimkan ke Kapolri juga. Bukan lelucon, ini beneran, bagaimana hal ini bisa terjadi sementara di Bima ada polisi yang kabarnya menembak seorang anak namun belum karuan juga hukumannya.
Presidennya siapa?
Tidak ada hubungannya, siapa presidennya, dari partai apa, jelas nggak ada hubungannya sama sekali. Tapi Presiden bagaimana tanggapannya? Lebih-lebih lagi ini, jelas harus melalui keangkeran institusi bawahannya yaitu kepolisian dan kejaksaan, dua anak kembar yang memiliki mainan hukum dan hakim di negeri ini. Gengsi kesatuan dan jawatan akan membela habis-habisan agar tidak memalukan di mata atasan. Jelas ini SOP mau resmi atau tidak resmi, formal atau tidak formal. Jadi sudahkah anda menyumbang sandal keadilan? Jika malah belum dengar kabar ini sila buka kronologisnya tentang Terjepit Hukum Sandal Jepit. Mungkin karena kejadiannya jauh di Sulawesi jadi tak terdengar di istana, namun nggak heran juga ada kabar orang bakar diri di depan istana, istana ya bungkam seribu bahasa.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Hubungan emosional, hubungannya sangat erat dengan emosional. Karena emosi sepertinya yang menghantarkan kasus ini ke persidangan, bayangkan kalo tidak karena emosi atau ada itikad baik di dalamnya pasti kejadiannya akan lain. Tidak ada filter emosi di ranah pemerintahan sepertinya, dengan kata lain sudah tidak ada lagi pikiran yang sehat. Delik laporan mungkin hanya pencatatan, namun mengapa bisa sampai ke pengadilan? Ini aneh, sepertinya karena hanya ada laporan dan kebetulan itu dari petugas maka pemrosesan kasus lancar hingga sidang. Memang akhirnya ada tindakan pengingatan dari kepolisian namun proses sidang masing berlangsung, tetap menjadi bola liar, dan harus ada gerakan sandal keadilan. Ini mencengangkan.
Menunggu yang terbaik
Perbuatan mencuri memang tidak baik dan diperkenankan dalam banyak norma sosial dan budaya. Cilakanya ini menimpa pada anak-anak yang masih harus dilindungi dan tidak bisa dikriminalkan (sebisanya). Kriteria anak pun menurut konvensi-konvensi yang ada yaitu seseorang yang berumur di bawah 18 tahun. Semoga saja masih ada hati nurani dalam hukum di negeri kita.
Kasus sandal jepit ini bermula Mei lalu saat Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng, mengaku kehilangan sandal merek Eiger di rumah kostnya di jalan Zebra. Saat itu, Briptu Rusdi menuduh AAL yang kebetulan lewat saat dia mencari sandalnya. AAL ketika itu masih pelajar SMP.
Atas tuduhan ini, AAL mengelak, tapi Briptu Rusdi tetap menuduh bahkan memanggil rekannya di bagian Reserse Kriminal Khusus Polda Sulteng Briptu Simson J Sipayang untuk ikut mengionterogasi. Karena AAL terus mengelak, keduanya lalu memukul AAL.
Tak tahan dipukuli, AAL kemudian mengaku pernah menemukan sandal jepit merek Ando sekitar 25 km dari kamar kos Briptu Rusdi. Entah mengapa, sandal jepit ini yang kemudian digunakan Briptu Rusdi untuk menyeret AAL ke pengadilan.
Di pengadilan pun terjadi dialog agak aneh saat hakim maupun pengacara menanya Briptu Rusdi dari mana dia yakin bahwa sandal jepit tersebur miliknya. Saat itu Briptu Rusdi menjawab ada kontak batin. Saat hakim meminta Briptu Rusdi mencoba sandal tersebut, tampak jelas sandal itu kekecilan untuk kaki Briptu Rusdi yang besar.
Atas kejadian pemukulan anaknya , Ebert Nicolas Lagaronda ayah AAL kemudian melaporkan Briptu Rusdi dan Briptu Simson ke Divisi Propam Polda Sulteng. Briptu Rusdi sempat meminta laporan ini dicabut, tapi orang tua AAL tetap meneruskan laporannya, berikut bukti visum.
Untuk kasus penganiayaan ini, Briptu Simson telah dijatuhi hukuman kurungan 21 hari dan penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun dalam sidang Kode Etik dan Disiplin yang digelar Divisi Propam Polda Sulteng, Rabu (28/12/2011). Adapun Briptu Rusdi masih menjalani sidang disiplin.
Rencananya, pengacara AAL juga akan memerkarakan Briptu Rusdi ke pengadilan umum untuk kasus penganiayaan anak dibawah umur. "Bukti visumnya ada, dan putusan dari majelis kode etik juga sudah ada. Jadi kami siap memperkarakan penganiayaan ini," kata Syahrir Zakaria, salah seorang pengacara AAL.
Sumber : Kompas
Cerdas atau tidak?
Secara norma dan akal budi pengadilan secara resmi melalui perangkat peradilan negara adalah hal positif, tak dapat dielakkan. Jadi dengan kaca mata yang jujur kasus ini adalah kasus yang masih bisa dikategorikan cerdas, yaitu melalui jalur hukum yang ada, terlepas dari aniaya atas nama otoritas pemegang hukum. Dibandingkan dengan kasus Mesuji, Bima, pembantaian Ahmadiyah, pembakaran kampung Syiah di Madura, dan sebagainya. Meski kesimpulannya untuk dikatakan cerdas hanya bisa di lakukan di lembaga-lembaga akademis, jadi tidak usah di bahas saja.
Impotensi Hukum di Negeri Begajul
Jelas sekali tebang pilih, dan impotensi peradilan di negeri begajul. Tak bisa membedakan apa yang bisa diselesaikan secara wajar dan tidak. Kasus korupsi jelas akan selalu dapat di selamatkan karena ada yang bisa di bagi, sementara jika sandal jepit, seekor ayam, biji jambu di ladang, jelas tidak bisa di bagi dan dijadikan nominal di rekening bank. Masih beruntung ada banyak masjid yang ketika Jumatan atau shalat berjamaah ada yang kehilangan sandal dan tidak menuntut apa-apa, di ikhlaskan, meski harus pulang tanpa alas kaki. Namun tempat ibadah juga kadang menjadi komoditas dalam perijinan yang seringkali menjadi kasus dan ramai dibicarakan bahkan menjadi penyulut kerusuhan. Sulit memang menentukan sesuatu ke dalam kategori waras dalam wacana negeri yang hukumnya impoten namun memiliki libido luar biasa untuk menindas atas nama pembagian nominal rekening bank.
Foto via Sandal Jepit Keadilan | Kasus Sandal jadi perhatian dunia | Antara