Blog suryaden

 

projek venus

Dunia makin tua, makin penuh sesak, penuh dengan manusia, kepentingan dan ragam lainnya yang mengarah pada kesejahteraan. Ketika dahulu bisa dilakukan cukup dengan menyedot kemanusiaan sesama kemanusiaan, meski sampai sekarang pun masih seperti itu, baik dalamhal positif yang bernama kerjasama duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ketika semua yang serba postif mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang lebih, maka terperaslah otak untuk mencari jalan lain. Saat hasil bumi dan cukup untuk menjajah dengan lokalitas yang tidak perlu luas masih cukup maka gerakan nasionalisme sudah cukup ampuh untuk menangkalnya. Namun ketika semuanya sudah menjadi 'stealth' atau siluman dengan warna yang bermacam-macam, maka makin sulitlah untuk membedakan, karena semuanya nampak sama, positif, menguntungkan dan demokratif.

 

bisik

Goblok, pekok, bodoh, pikun, gak sensi, gak punya rasa, tolol, idiot, kemproh, pengkhianat, tukang ngracun, pendosa, tukang produksi dosa, lemot, lambreta, ra kalap, kenthir, edan, miring, sinting, anti sosial, egois, ndak punya perasaan, marah, misuh, mau bunuh diri, mau mati, mau bunuh orang, mau bakar rumah tetangga, gak punya malu, malu-malu-maluin, pecas ndahe, ra mudengan, mlarat, miskin, kesrakat, amoral, campuraduk gak bisa ngapa-ngapain lagi, untunglah nggak jadi mentri ato presiden.

Hanya bisikan doa yang bisa kuhantarkan mengiringi semua perjuanganmu, meski cinta atau apapun namanya yang tinggal menjadi balutan, semoga saja bisa membayarkan dan mengganti semua arti yang bisa kau datangkan pada diri nan lunta tanpa harap dan berkas lagi. Tanpa arsip hidup yang memang sudah terbengkelai memang apalah arti kehidupan namun hanya dengan itulah kubertahan, hingga berada di titik nol, terimakasih atas hadirmu. Ribuan kata tak bisa mengganti, mungkin hanya secercah perbuatan dan sebisik doa demi kebaikan masa depan yang lebih bercahaya dan bermakna.

 

Meminang Kegelapan

Setelah pecahan-pecahan hati yang hancur tersebut di abadikan dalam sebuah monumen hancurnya sebuah cita menjadi sebuah keharuman meski masih terasa sakit dan sesak selalu mendesak didadanya, dengan tekun dirasakannya, meski butir-butir air mata kesakitannya selalu saja tanpa sebab yang disadarinya selalu membasahi pipinya hingga habis dan kering. Seakan sudah tak ada lagi yang dapat diteteskan, sudah tidak ada lagi rasa sakit atas desakan dari dalam dadanya, semuanya sudah terasa biasa sebagaimana tuntutan akan kehidupan yang mengharuskannya bersandiwara atas rasa sakit yang semestinya sangat parah tersebutpun dengan sangat terpaksa harus digantinya dengan gelak tawa agar tidak nampak kegalauan dan goyah jiwanya. Semuanya harus tampil wajar seakan tiada apa terjadi, bahwa meski hancur namun masih pula teman dan para sahabat tidak harus mengetahui apalagi membantunya dari kegelapan yang sudah bulat dipinang menjadi pasangan hidupnya yang abadi hingga akhir nafasnya yang semakin sengal karena sesal bahwa waktu tak mungkin akan diputar kembali.

 

menggauli kehancuran

Apalah kemudian yang dimiliki seorang insan, mahluk tuhan yang melemah, dalam kehendak perjalanan dan kesempurnaan tertingginya yang telah hancur. Adalah sebuah keinginan untuk menyempurnakan perjalanan yang ditempuh menjadi adreaniln yang mengalir di otaknya, otak yang rapuh tiada lagi melihat penerang dunia kehidupan maupun tujuan yang sedikit demi sedikit merapuh digerogoti usia serta pengharapan yang tiada kunjung menjadi material keinginan nyatanya. Meski dengan menangis sambil memohonpun tidak menjadi jaminan bahwa ketersiksaannya bisa berakhir, endapan demi endapan kekecewaan atas apa yang diyakininya benar telah menjadi bom yang setiap saat dapat membawanya ke kehancuran, hanya sisa-sisa ruang terhormat dihatinya dapat membantunya hancur dalam kehormatan, melanjutkan kehidupan dalam kehancuran ataupun membangun gedung kehancuran yang indah hingga dia bisa berdecak mengagumi akan kehancurannya sendiri.

 

on broken wings

Tertatih-tatih melewati malam demi malam, pagi demi pagi, siang demi siang hingga menggembung menjadi minggu bulan dan tahun. Jiwa nan sunyi tanpa penghuni dalam kesakitan dan kehampaannya semakin pasrah menerima nasib dan takdir cacatnya keterikatan yang telah menghancurkannya selama-lamanya. Tak ada dendam selain hutang untuk selalu berbuat baik,iklhlas tanpa reserve agar jiwa tanpa nama, penghuni dan hampa tersebut masih mampu menjalani apa yang masih menjadi tugas untuk diembannya yaitu hidup itu sendiri hingga maut yang dinantinya agar lebih cepat menghantamnya pun tak kunjung bisa mengalahkan dan mungkin juga emoh mengajaknya menyelesaikan kehidupan tanpa jiwa di bumi yang sudah bukan merupakan penjara lagi namun, sebuah awang-awang penuh dingin dan jarum yang menusuk-nusuk.

 

Blackout

Bahwa kemudian pada detik itu aku kehilangan harga diri, bahkan jiwa yang sakit inipun melayang hilang di angkasa raya, tak pernah bisa kukejar bahkan untuk mengharapkannya datang kembali, telah hi

Halaman-halaman

Atas