Desa Melung saksi keangkuhan proyek Geotermal Gunung Slamet

 

Desa Melung saksi keangkuhan proyek Geotermal Gunung Slamet

(1) Perekonomian berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat BAB XIV Kesejahteraan Sosial Pasal 33 UUD 1945

Desa Melung berada di Kecamatan Baturaden, Banyumas. Sebuah desa yang berada di kaki gunung Slamet. Berbatasan bahkan desa inipun memiliki hutan yang luas. Desa sebagai pemukiman dan hutan diatasnya yang menjaga ketersediaan air. Air yang begitu penting untuk kehidupan masyarakat desa maupun desa-desa atau pemukiman di bawahnya. Selain itu hutan juga menyediakan banyak kekayaan yang bisa diambil dan menghidupi rakyat. Desa melung sedang heboh karena PLTP Baturaden.

Keterkaitan manusia dan hutan sangat sulit dipisahkan. Hutan adalah wahana milik bumii yang sangat kaya dan meski tak dimiliki, namun menyediakan secara bebas apa yang bisa di pergunakan oleh masyarakat, tanpa merusak dan mengubah wujud hutan tersebut. Memang ada peraturan tentang kekayaan hutan yang hanya bisa diakses oleh negara, seperti kayu dan pohon-pohon yang besar serta kekayaan yang tak sanggup di kelola oleh manusia secara individu dengan tangan dan tenaganya. Sehingga diperlukan kekuatan besar untuk mengangkat kekayaan yang sangat besar tersebut misalnya tambang emas, atau minyak dan gas bumi yang harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyatnya.

Bukan seperti yang terjadi saat ini misalnya dikontrakkan kepada perusahaan asing, misalnya. Jika memang negara tidak kuat membiayaai, maka untuk apa mengelola dengan kontrak yang kebanyakan tidak adil dan malah merugikan masyarakat banyak karena hanya dikeruk dan tidak mendapatkan bagian yang adil dan masuk akal. Seperti dicontohkan di sini:

Dalam sistem konsesi, kontraktor swasta, baik nasional maupun asing, memiliki hak atas mineral (mineral right), hak menambang (mining right) dan hak atas manfaat ekonomi (economic right) sekaligus. Meskipun di dalamnya berlaku “pungutan negara” , sebagai bukti seolah-olah bahwa memang mineral yang ditambang itu milik negara. Di dalam industri tambang batubara, misalnya, negara hanya mendapatkan royalti 13,5%.  Untuk tambang emas, sesuai PP No 45 tahun 2003, negara hanya mendapatkan royalti 3,75%. Namun yang perlu dicatat: pertama, emas atau batubaranya sendiri tetap diboyong oleh kontraktor, tanpa ada mekanime penyerahan dari negara sebagai pemilik sumberdaya itu sendiri; ke dua, untuk tambang emas Freeport di Papua, negara hanya mendapatkan 1% royalti. Angka yang sangat mengenaskan.

Sumber:

Bahkan seperti yang terjadi di Desa Melung saat ini. Masyarakat sendiripun tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang eksploitasi hutan di wilayahnya. Apa keuntungannya, masyarakat akan mendapat apa selain hutannya rusak dan ketakutan minimal seperti ketersediaan air. Jangankan muluk-muluk tentang AMDAL atau implikasi terhadap berubahnya lingkungan. Masyarakat tidak mendengarnya. Bahkan diketahui ijin dari kementrian pun tidak ada namun korporasi atau perusahaan yang sebenarnya tidak memiliki tanah sepeserpun di hutan Gunung Slamet tersebut pun hanya dengan pertimbangan investasi langsung melakukan persiapan eksplorasi. Kalau memang izin sudah dikantong mungkin sebagai manusia biasa masuk akal untuk melakukan dari awal seperti persiapan sosial untuk masyarakat sekitar, sosialisasi apa dampaknya dan tidak bertindak seperti robot yang bukan manusia.

Tempo mencatat sekelumit dari ketakutan masyarakat yang mendapatkan kekerasan atas nama korporasi seperti dibawah ini:

TEMPO.CO, Purwokerto - Tepat pukul 01.00 WIB pekan lalu, rombongan kecil itu bergerak. Mereka mendaki dan memasuki hutan lindung lereng Gunung Slamet. Malam begitu pekat, tapi mereka tak gentar. Seorang warga pinggir Gunung Slamet menyatakan sangat hafal hutan daerah ini. Ia tak mau disebut namanya.

Sudah sepekan, kata dia, warga pinggir Slamet mendengar kabar ada penebangan hutan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga geotermal. Untuk membuktikan hal itu, warga membentuk tim investigasi kecil. Maklum, bagi mereka, hutan di gunung itu sangat penting. Selain sebagai daerah tangkapan air, rimba yang masih perawan itu menjadi tempat mencari nafkah hasil hutan non-kayu.

Dari hasil pengecekan lapangan, mereka menemukan puluhan orang sedang membuat jalan, menembus hutan lindung. Mereka juga menemukan sejumlah pohon ditebang untuk kayu bakar sebagai persediaan saat mereka di hutan. "Kami khawatir Gunung Slamet akan gundul," kata dia.

Dhani Armanto, aktivis Komunitas Peduli Gunung Slamet, menyatakan saat ini ada sekitar 70 orang melakukan illegal logging secara masif di hutan lindung. "Kami menduga mereka itu pekerja PT SAE, yang akan membangun pembangkit geotermal," katanya.

Dia menyesalkan adanya aktivitas itu. Sebab, izin dari Kementerian Kehutanan belum turun sehingga pembukaan lahan belum diperbolehkan. Pembukaan hutan itu, kata Dhani, dimulai dari kawasan perkebunan teh Kaligua hingga lereng selatan jalur pendakian Gunung Slamet. "Masyarakat khawatir pembukaan lahan akan memicu banjir di bawah dan menghilangkan mata air panas, andalan wisata Baturraden," katanya.

Anggota Dewan Kehutanan Nasional, Sungging Septifianto, pun mengatakan, sebelum ada izin dari Menteri Kehutanan, pembukaan lahan tidak diperbolehkan. "Baik eksplorasi apalagi eksploitasi," katanya. Meski pembangunan pembangkit itu sudah mendapat izin melalui surat keputusan Gubernur Jawa Tengah, izin resmi harus tetap melalui Menteri Kehutanan.

Sungging mengaku belum mendapat tembusan izin dari Menteri Kehutanan. Karena itu, dia berharap, pemerintah dan PT SAE melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar kawasan hutan.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Banyumas Anton Adi Wahyono membantah kabar soal adanya kegiatan PT SAE di hutan lindung. "Saat ini baru pemetaan topografi," katanya. Menurut dia, yang ditebang baru tanaman perdu, bukan pohon besar.

Menurut Anton, proyek dengan investasi senilai Rp 7 triliun itu direncanakan menghasilkan listrik pada 2014. Namun, karena izin belum keluar, target tersebut harus mundur jadi 2017. Selain masalah izin, investor yang akan mengembangkan proyek, PT Sejahtera Alam Energy, harus mengganti hutan lindung dua kali lipat luas hutan yang dieksploitasi atau setara 100 hektare.

Di wilayah Banyumas, ada dua titik lokasi yang akan dieksploitasi dan dua titik lagi di wilayah Brebes. Dua titik di Banyumas, masing-masing akan menghasilkan listrik 110 megawatt. Menurut Anton, investasi proyek itu menghabiskan dana sekitar Rp 7 triliun. Satu megawatt membutuhkan US$ 3-5 juta. Sedangkan listriknya dijual ke PLN untuk pasokan jaringan Jawa-Bali seharga US$ 9,47 sen per kilowatt-jam.

Dia menambahkan, PT SAE mempunyai kontrak hingga 35 tahun untuk mengeksplorasi panas bumi Gunung Slamet, yang mempunyai potensi cadangan panas bumi sebesar 175 megawatt.

General Manager PT SAE Petto Rashito mengatakan pihaknya bisa menerima keputusan Kementerian Kehutanan terkait dengan belum keluarnya izin eksploitasi. "Kami bisa menerima, tapi jangan mundur-mundur terus. Semakin lama izin keluar, biaya investasi semakin membengkak," katanya.

Saat ini, kata dia, pihaknya sedang melakukan pekerjaan lain sembari menunggu izin keluar. Selain membuat desain teknis, mereka membuat desain teknis pengeboran agar ketika izin keluar, mereka langsung bisa mengeksploitasi. Dia menjamin proyek itu tidak akan berbahaya. "Tidak ada bedanya mengebor gunung aktif atau sudah mati," ucapnya.

Dosen Program Studi Teknik Elektro Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Suroso, mengatakan pemerintah harus mendukung proyek tersebut. "Indonesia mempunyai potensi listrik geotermal terbesar di dunia, sebesar 30 gigawatt atau 40 persen dari total dunia," katanya.

Dari dokumen yang diperoleh Tempo, PT Sejahtera Alam Energi merupakan milik Adaro Energy, melalui anak usahanya, PT Adaro Power, setelah dibeli dari PT Trinergy pada Selasa, 20 Desember 2011. Selain membangun di Baturraden, PT Trinergy akan membangun pembangkit listrik tenaga bayu atau angin di Tangkuban Parahu II, Ciater, Jawa Barat.

Adaro Power didirikan pada 17 Desember 2010 oleh Adaro Energy dan anak usahanya yang lain, PT Alam Tri Abadi. Laporan keuangan Adaro Energy, akhir kuartal III/2011, menunjukkan 50 persen saham Adaro Power milik perusahaan dan Alam Tri Abadi. Setoran modal masing-masing Rp 30 juta, yang diklaim setara dengan US$ 3.000.

Salah satu pemilik saham PT Adaro Energy adalah Sandiaga Uno, yang menurut Forbes duduk di posisi ke-37 orang terkaya Indonesia. Dia memiliki 633.338.202 lembar saham atau setara dengan 1,98 persen di perusahaan itu.

Berdasarkan data Kesatuan Pemangku Hutan Banyumas Timur, Gunung Slamet mempunyai ketinggian 3.428 meter di atas permukaan laut dan sisa hutan 52.617 hektare, sepertiganya berupa hutan lindung.

Sumber:

 

 

Atas