api dalam sekam

 

api dalam sekam

Tak terbayangkan rahsa dalam jiwa mendengar keluhan sharing seorang kawan bahwa saat ini telah tiada lagi keindahan silaturahmi terkecuali mungkin ketika hari raya, itupun mungkin hanya
ada karena keterpaksaan bahwa harus merayakannya, agar tidak dianggap sesat atau ancaman sosial lainnya. Bahwasanya sahabat tersebut memberitakan di sebagian tempat di Negeri Begajul, bahkan mungkin tidak semua insan bisa menyadarinya perubahan yang sangat halus detik-demi-detik bagi yang mau merefleksikannya dengan keadaan dan kenetralan alamiah kemanusiaannya.

Ketersediaan dan akses kepada sumberdaya maupun kemudahan mendapatkna nafkah untuk sepiring nasi telah membuat ribuan manusia harus mau tidak mau mereka kembali paradigmanya tentang tetangga, paseduluran bahkan kekancan. Semuanya harus memiliki implikasi, konsekuensi dan harus dapat dilakukan dengan cara efektif dan efisien, bahkan apabila perlu tanpa lagi senyum ramah ataupun basa-basi untuk mendapatkannya.

Kali kecil di depan rumah yang dahulu bisa menghasilkan dan dihuni oleh ikan-ikan gabus saat sekarang sudah tidak lagi mengalir, tanah dihalaman yang semakin sempit juga areal persawahan yang lebih menghabiskan biaya untuk pupuk daripada panennya, bahkan lebih baik menjual padi ketika masih hijau dibandingkan ketika panen beras itu hanya dibeli murah oleh para agen. Bandeng di tambak yang biasanya bisa tumbuh besar dan segar sudah tinggal mimpi di siang bolong, ketika hanya menghasilkan bandeng-bandeng yang tidak layak untuk dijual.

Panas udara yang semakin menyengatpun tidak hanya memanasi baju dan kulit ditubuh, namun juga memanasi hati bahkan logika yang semakin sulit saja untuk berpikir panjang selain bagaimana caranya mencari makan untuk sikecil ataupun bagaimana caranya mencari sekolahan yang murah untuk dapat membantunya hidup dikelak kemudian hari. Tiada lagi senyuman ramah tetangga, terkecuali hanya basa-basi atau ketika kebetulan berada mengerjakan proyek yang sama. Tiada lagi waktu untuk bersenda gurau dengan tetangga sebelah jendela kamar, ketika lebih nyaman untuk menonton DVD atau acara televisi sambila melamunkan dan merencanakan apa yang harus diperbuat besok untuk menutup dan membayar kreditan sepeda motor atau kompor gas di dapur.

Tiada lagi perasaan sejuk ketika pak RT atau tetangga bertandang kerumah, selain tamu-tamu yang membawa permasalahan atau ingin menyelesaikan permasalahan, semuanya menjadi serba bisnis, bahkan untuk mendukung pencalonan salah satu kandidat penguasa pun harus dibisniskan, segala sesuatunya menjadi sederhana tanpa perlu lagi substansi kejiwaan bahkan bathiniyah yang meliputinya.

Bahkan kecerdasan yang didapat dari sekolah-sekolah elite pun tak bisa membaca apa yang ada dibalik sebuah peraturan kenegaraan yang muncul begitu saja dan ditandatangani oleh ratusan wakil rakyat yang ternyata adalah sebuah profesi, bukan sebuah amanat penderitaan rakyat melainkan amanat menyejahterakan pemilik segala sumber finansial demi memberi rasa aman kepadanya dan tentu dengan imbalan yang tidak sedikit, meskipun atas nama tuhan namun bukankah kita semua bertuhan, dan tuhan yang sama katanya.

Meski semua itu tak pernah dirasakan oleh insan-insan diatas awan yang dengan bangga dan nikmatnya menyusuri jalanan tol di ibukota dengan kendaraan indah dan berhawa sejuk didalam, hanya untuk kesana-kemari meski tiada penonton selain kendaraan dan orang-orang serupa di jalanan yang sama. Tidak sadarkah perbuatan mereka dalam kemanusiaannya mencelakai kemanusiaan yang lainnya, dan sadarkah berapa kekuatan mereka dibandingkan dengan jumlah perut lapar yang bagai api dalam sekam dengan kekalutan dan permasalahan yang sama, serta panas yang sama panasnya pada permukaan bumi yang sama pula, mungkin bukan saudara, tetangga, kenalan, juga bukan musuhnya dalam penderitaan di kelas lain dengan kadar yang sama siap untuk saling terkam tanpa peduli siapa dan apapun yang akan terjadi karena keputusannya untuk memperpanjang usia kehidupannya.

Atas