Ruwatan Pilpres

 

Ruwatan Pilpres

Ruwatan berasal dari bahasa Jawa yang artinya sebuah acara inisiasi doa yang bertujuan untuk membebaskan komunitas atau tempat tertentu dari ancaman mara bahaya, angkara murka ataupun hal-hal yang tidak diinginkan. Sesuatu diruwat karena memiliki dampak tidak baik atau dianggap merugikan secara sistemik, sehingga diharapkan setelah diruwat hal-hal atau anasir-anasir negatif dapat dihilangkan menjadi sebaliknya anasir-anasir baik yang menguntungkan kehidupan.
 
Pilpres saat ini dipenuhi dengan hal-hal yang lebih menjurus kepada angkara murka, menjadi presiden adalah tujuan dan segalanya, seakan kekuasaan presiden indonesia adalah seperti kekuasaan Hitler atau fasisme ketika perang dunia ke 2 dahulu, dimana pimpinan akan dapat menyelesaikan semua masalah dan harus dia. Tidak terkalahkan dan bisa mengubah warna Zamrud Khatulistiwa yang hijau menjadi warna lain yang diinginkan presidennya.
 
Membangun opini masyarakat dengan kampanye hitam yang akan di jernihkan sendiri dengan menggiring kesalahan kepada pihak lain, untuk memenangkan kedudukan adalah cara-cara nista yang tidak mencerminkan niat baik, kecuali hanya mengejar kemenangan secara sementara untuk kemudian dikuatkan dengan sistem pembaharuan wacana seperti jaman orde baru ketika menterjemahkan peristiwa 65/66 dengan fakta yang selayaknya perlu dipikirkan lagi, namun terlalu menakutkan karena todongan senjata dan trauma pembunuhan yang sangat-sangat diluar logika akal sehat kemanusiaan.
 
obor rakyat, tabloid fitnah capres
 
Kekerasan melanda di ranah informasi, ranah digital, opini-opini ataupun gumaman hati yang terucap di media sosial dan tertulis atau terekam bisa jadi bumerang. Kekerasan demi kekerasan non fisik yang dilarikan dalam ranah hukum, seperti reawrd dan punishment, namun disini tidak ada reward sama sekali adanya punishment dan jotos-jotosan menggunakan media informasi.
 
Bermunculan tabloid-tabloid atau majalah baru yang menghasut dan menjelek-jelekkan Pak Joko Widodo misalnya. Serangan-serangan yang menusuk dan berada di luar logika nalar awam seperti ini sudah sangat membahayakan. Kita bisa teringat dengan siapa sih yang memiliki cara-cara sistematis untuk membangun opini masyarakat, dengan cara-cara informasi baik cetak, suara, gambar, hingga digital. Siapa yang punya pikiran dan metode penghancuran citra seseorang atau kelompok semacam ini?.
 
Apabila kita bisa dengan jernih untuk keluar dari lingkup permasalahan atau konteks saat ini yaitu 'Pilpres', 'Kontes Pemilihan Presiden', 'kampanye Pemilihan Presiden', atau apapun namanya. Bukankah kita harus kembali pada maksud dan tujuan mengapa harus ada 'Presiden' dan 'Wakil Presiden'?. Presiden dan Wakil Presiden adalah nakhoda bangsa untuk membangun bangsa Indonesia dan bukan menghancurkan bangsa ini menjadi lebih terpuruk. Cara-cara kampanye yang indahlah yang kita harapkan sebagai sasaran atau sebagai kelompok penentu mana yang terbaik dari opsi yang ada. Bukan kemenangan sebagai tujuan akhir, kemenangan menjadi Presiden adalah awal perjuangan untuk membangun dan membuat negara ini menajdi lebih baik sesuai 'cocot' yang 'njeplak' dan 'mengeluarkan suara' sebagai 'janji' yang harus ditepati ketika 'menang pilpres' dan menjadi 'Presiden dan Wakil Presiden Indonesia' yang dihormati seluruh bangsa.
 
Pak Prabowo misalnya, mendapatkan serangan pertanyaan tentang HAM dan sebagainya, bisa ditepiskan dan dijawab, meskipun tidak terlalu dalam, mungkin pertanyaan-pertanyaan yang santun akan bisa dijawabya dengan ikhlas tentang Hak Asasi Manusia ataupun alasan-alasan gamblang tentang kisah yang melandanya pada tahun-tahun kejatuhan rezim orde baru.
 
Pertentangan yang ada saat ini demikian mengerikan, ideologi yang diusung pung sangat berbeda dan pernah terjadi peristiwa besar yang membekas dalam jutaan hati insan Indonesia kala itu. Pertentangan antara para pengusungnya yang memiliki luka lama, dan prasangka-prasangka lama yang tentunya menyembul kembali secara tidak sadar, karena telah terpupuk dalam benak bawah sadar sejak masa lampau. Entah, semoga saja ini tidak benar.
 
Kembali warga masyarakat diuji untuk tidak terpecah belah dan terfragmentasi pada keinginan dan kebutuhan kelompok-kelompok kecil, namun harus dapat berbicara makro tentang keindonesiaan dan kenegaraan. Hal-hal kecil dan lokal selayaknyalah diselesaikan secara lokal dengan pemerintah setempat sementara Presiden tetap berada pada tempat yang terhormat sebagai panglima tertinggi bangsa yang memegang bendera dan aba-aba akan berjalan kemana negara ini.
 
Mengkritisi program dan esensi program aksi seharusnya dikedepankan dengan pertanyaan-pertanyaan atau visualisasi yang bisa dipercaya dan meyakinkan masyarakat. Panitia pemilihan presiden seharusnya memiliki kreativitas untuk memberikan ruang-ruang yang jelas kepada kontestan agar dapat kampanye secara dama dan terhindar dari cara-cara yang sama sekali tidak beradab dengan menyebar berita bohong, fitnah dan cerita-cerita karangan yang sama sekali hanya bertujuan untuk membaut orang salah persepsi terhadap mereka, para calon presiden.
 
Siapa yang sanggup mengadakan 'ruwatan pilpres' bagi masyarakat agar berada dalam ketenangan sehingga bisa melakukan aktivitas sehari-harinya tanpa harus memantau perkembangan apa yang terjadi atau ada informasi apa tentang keburukan dari para calon presidennnya. Presiden saat ini seharusnya memang harus menjadi panglima untuk hal ini, presiden saat ini harus bisa menindak tegas pelanggaran-pelanggaran yang ada bukannya secara pasif menyerahkan semuanya kepada panitaia pemilihan presiden namun tindakan-tindakan yang nyata untuk meruwat pilpres 2014 kembali ke jalan yang lebih teduh, bukan panas-panasan yang entah seperti apa nantinya nanti karena tidak terlihat ada wasit yang jelas.
 
Masyarakat sebaiknya juga memposisikan diri secara kuat, terutama yang masih memiliki adat istiadat lokal yang masih hidup. Kekuatan budaya lokal harus mampu menjadi tameng dan filter untuk menyaring calon presiden mana yang akan dipilih atau memiliki kharisma kepemimpinan terbaik untuk semua orang. Bukannya mengutamakan uang sumbangan dari tim pemenangan presiden tertentu untuk dapat datang, melakukan seremonial formalitas yang sama sekali tidak memiliki nilai, bahwa mereka kedatangan seseorang yang akan membuat mereka lebih baik atau sebaliknya seorang pemimpin yang akan merugikan suku, kelompok atau komunitas tersebut.
 
Kecemasan ini muncul karena mungkin sudah sedemikian banyak hasutan dan informasi salah yang sudah beredar dan tidak diketahui atau tersembunyi secara sangat rapi. Sehingga friksi-friksi akan menjadi lebih panas dan runcing dan membahayakan pilpres itu sendiri karena boncengan-boncengan kepentingan yang pasti selalu ada, serta tidak ada kaitannya dengan masalah " href="http://suryaden.com/rerasan/cari-yang-pas-itu-saja" target="_blank">cari yang pas dan terbaik demi keberlanjutan yang lebih progresif, revolusioner, inovatif serta betul-betul memiliki sumbangan yang progres baik yang signifikan bagi negeri tercinta.
 
 
Atas