membumikan politik

 

membumikan politik

Hirarki selalu saja ada dimanapun, bahkan birokrasi seakan sebuah tembok maha kuat yang tidak dapat ditembus selain dengan perjuangan dan rasa sakit. Entah apa yang diusung demokrasi, selain hanya menjadi alat dan acuan, sekalipun sistem yang dikerubungi ribuan polisi, tentara ataupun jaksa. Terbukti bisul-bisul kerajaan kecil menempel selalu baik sebagai akibat, proses maupun aktualisasinya. Partai atau apapun namanya entah mengusung penghapusan kelas sosial atau istilah lainnya pun mencipta kelas-kelas sosial baru, baik yang komunis ataupun yang bukan. Sama saja mereka tidak membumikan politik.

Pendidikan sebagai sokoguru semuanya seakan tak mampu menepis budaya dan kebutuhan hari perhari mulut-mulut dan wajah-wajah yang menjadi angkara ketika berhadapan dengan sesuatu yang bernama 'kuasa' tidak harus menjadi tirani, namun bagaimana 'diri' bisa bertahan mengecup nikmatnya 'kuasa' atas 'apapun' yang bisa dikuasai, bisa dengan memuji, meninggikan, mengecoh, menyingkirkan atau membuat seseorang lainnya kehilangan 'muka' ataupun tindakan lain yang juga dari referensi pendidikan, nurani ataupun memori kolektif bawah sadarnya yang muncul begitu saja dari rasa iba, benci, iri ataupun bibit-bibit permusuhan.

Membumikan politik atas dasar kebhinnekaan yang digadang-gadang dan dibanggakan Soekarno, untuk mempersatukan atau menundukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi sebuah bangsa yang selalu saja berhadapan dengan perasaan porak-poranda bisa diobati sementara oleh Soeharto dengan pemerataan dan iming-iming kenikmatan sesaat atas nama stabilitas nasional dengan mengkambinghitamkan Partai Komunis Indonesia yang disembelih hingga menjadi hantu yang disetting sangat sangar dan mengerikan dengan manajemen konflik non eksternal namun dari sekitar rumah sendiri. Betapa nista, dan siapapun sekarang dilahirkan dari situasi ini #mdrcct

Habibie membumikan politik dengan semangat Eropanya mengusung demokrasi banci tak lama kemudian Gus Dur dengan permen multikultur yang tak lain dan tak bukan hanya turunan dan wajah lain dari kebhinnekaan awal yang belum sempat matang namun sudah dibungkam oleh Soeharto dari Soekarno yang cukup pusing memperjuangkan konsep nasionalismenya karena dipahami menjadi banyak hal dan potongan-potongan puzzle yang semakin runcing dan malah sepertinya menjadi kontraproduktif karena berada di tangan pendekar berwatak jahat yang saat ini bisa saja berpenampilan malaikat ataupun alien lain tak terdeteksi lainnya namun berwajah dan memiliki seringai yang sama ketika berhadapan dengan 'kuasa'.

Bagaimana sebuah keluarga bernama Indonesia ini bisa bercahaya dari dalam, ketika para punggawanya dengan masing-masing kekuatan dan modal tidak berniat membumikan politik dengan memiliki visi bersama tanpa friksi tajam. Satu dua dekade ke depan tentunya dengan runyamnya wajah saat ini perspektif-perspektif kesadaran tentang politik, kepartaian maupun ideologi kebangsaan akan terolah dengan sendirinya bila ada pencatatan dan transparansi yang tidak harus dipandegani oleh wikileaks ataupun openleaks, meski saat ini sembelit pikiran seperti kegagapan dalam menilai informasi cepat IT masih terasa sesat pikir karena terlampau sembelitnya pemahaman akan 'kuasa' dan keingininan untuk selalu berada pada rangking tinggi 'kuasa', meski karir terakhir ketika belum semuanya ideal adalah 'lembaga pemasyarakatan' meski sudah jaman keterbukaan namun istilah bodoh 'lembaga pemasyarakatan' juga masih dipertahankan, memalukan bukan.

Kesadaran-kesadaran baru tentunya disebarkan melalui banyak hal dan cara, dengan pengawalan yang jelas dari volunteer-volunteer yang rela menyebarkan gagasan kebenaran dalam aras politik yang luas, dimensional dan tidak selalu berubah mimik ketika berhadapan dengan 'kuasa'. 2014 tidak lama lagi, akankah kesalahan dari 1998 akan tidak pernah bangkit untuk melawan pembodohan massal yang harus kita pahami sebagai pencitraan punggawa Negeri Begajul bahwa 'rakyat itu goblog'.

Masihkah rakyat yang notabene adalah daulat, negara itu sendiri, yang menyewa dan mengontrak para pegawainya, membayarinya dengan keringat dan pajak bahkan darah. Masihkah mau ditipu dengan segala alasan untuk berhutang menjadi pecundang negara lain. Tidak mampu mengontrol nilai mata uangnya sendiri. Masihkah mau menerima kehadiran para politikus yang katanya wakil rakyat namun meminta bayaran seakan pemilik kehidupan. Bagaimana caranya membumikan politik pada kondisi seperti ini?

Sudah saatnya pertarungan dimulai meski dengan bermacam warna dan nuansa, bermacam cara dan keyakinan demi keemasan nusantara yang masih malu-malu dipuja oleh bangsa lain, meski mereka cerdik cendekia dan mengetahui hakikinya. Saatnya membumikan politik bagi insan-insan terpanggil demi tantangan berat dan jangan selalu terksesima saja di masa mendatang.

Atas