Berinternet yang sehat ketika ada dalam pikiran saya saat masih berkecimpung dengan beberapa server warnet ataupun perusahaan dahulu kala adalah bagaimana menjaga agar komputer yang terkoneksi dengan jaringan ataupun internet sekaligus bisa awet dan memiliki performa yang bagus, saat itu memang lebih banyak memakai OS Microsoft Windows yang sangat peka dan lemah ketika terserang virus ataupun trojan yang memberatkan kinerja CPU dan jaringan, utamanya juga memperlambat koneksi ke internet. Meskipun Linux sudah dikenal ciamik pada saat itu namun sayang para user masih kewalahan dan canggung menggunakannya, harap maklum.
Ketika itu pornografi melalui internet belum menjelma menjadi hantu pornografi online seheboh saat ini yang harus dipantunkan oleh @tifsembiring sebagai tindak lanjut atas UU anti pornografi, UU ITE atau tambahan-tambahan normatif lainnya disaat media sosial belum seramai saat ini dengan facebook dan twitter dan sellular phone yang sudah bisa mengakses layanan data dan atau internet dalam genggaman.
Operasi-operasi yang dilakukan yang berwajib adalah operasi untuk penjualan VCD porno dan penertiban kakilima, mungkin juga karena aparatus saat itu belum bisa merasakan akses internet yang masih dirasa mahal dan perlu dukungan komputer yang harganyapun tentunya sangat mahal dan sangat sedikit hasil korupsinya. Yang ada dalam pikiran saat itu adalah bagaimana para klien bisa menggunakan internet dengan kecepatan maksimal, dengan demikian bisa irit dan mempercepat pekerjaan karena berdasarkan pengamatan saat itu yang sangat subjektif para pengguna kebanyakan hanya menggunakan email, chating, dan yang menuntut kerja keras agar komputer bisa bekerja maksimal adalah game online.
Untuk menjaga hal itupun penerapan konten filter web dilakukan melalui squid proxy buatan sendiri, dibackup dengan urlfilter yang sudah kondang itu atau dansguardian yang cukup membuat rasa aman ketika itu. Belum ada yang namanya Nawala sebagai DNS buatan anak bangsa yang sanggup membantu pekerjaan dengan mudah, hanya OpenDNS yang itupun kadang tidak memuaskan. Lebih nyaman dan enak dengan pemfilteran sendiri secara lokal namun tentunya dengan biaya dan tenaga yang cukup istikomah untuk ini.
Atau bila negara cukup cerdas maka negara akan melobby kepada pra penyedia jasa interkoneksi internasional, sehingga apapun yang direquest dari pemakai internet di negeri ini akan segera menjadi halaman 404 karena tidak tersedia di database secara khusus, ataupun bekerjasama dengan para pembuat browser agar secara bundling menyertakan blokir otomatis untuk situs porno, phising dan lain sebagainya yang khusus untuk Indonesia. Juga para produsen antiviruspun harus ikut serta mendukung konten yang sehat.
Sementara banyak jurus cerdas untuk membuat internet membumi dan konten filtering terbagus dan paling manusiawi tentunya adalah melalui nurani, pendidikan dan tauladan yang baik. Secara tegas memang DNS Nawala bisa digunakan untuk siapapun dalam menangkis pornografi, namun tentunya istilah pornografi adalah sangat relatif tergantung kemajuan pemikiran dan inovasi logika si empunya tubuh, jiwa atau otak. Ada yang melihat paha terbuka sedikit kainnya sudah membuat mata melotot dan pikiran melayang.
Namun adapula yang melihat para perenang atau pesenam indah tanpa terangsang dan melihat dengan kacamata positif, sangat relatif dan tidak bisa diwakili oleh pemikiran DPR sekalipun apalagi ketika hanya seorang menteri. Dengan pendidikan yang membumi seperti pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah, adalah sebuah kebutuhan penting untuk bersinergi dengan perkembangan tehnologi informasi saat ini, pendidikan atau sosialisasi yang dikemas menarik untuk memberikan secara gamblang resiko-resiko keamanan internet seperti yang dilakukan oleh lembaga Internet Sehat menunjukkan awareness yang lebih dalam seperti keamanan menyimpan password, situs phising dan sebagainya.
Hingga sopan santun dalam menggunakan media-media sosial dengan aman, karena lebih berbahaya ketika akses data personal bisa dicuri atau digunakan oleh orang lain secara tidak benar, dan dari sini sebenarnya akar-akar permasalahan tentang ketidaksenonohan gambar atau moving picture yang diumbar di mata publik, dan dipolitisir agar bisa dijerat dengan pasal pornografi, meskipun aturan-aturan pada KUHP sebenarnya bisa dievaluasi maupun ditambahkan, jika memiliki kapasitas otak yang waras dan tentusaja cerdas, bukan menang sendiri dengan harus membuat satu regulasi baru yang sangat kontraproduktif dan sangat membingungkan.
Mungkin jika agak nakal, maksud pemblokiran atau konten filtering pornografi adalah menjaga agar apa yang namanya pornografi adalah konten premium yang mahal dan harus dibayar dengan harga lebih, karena bagaimanapun akan diblokir maupun dihapuskan toh sejak jaman purba hal itu selalu ada dikalangan kelas yang disebut "DEWASA", 'konten DEWASA' atau apapun yang tentunya secara akal sehat adalah konteks yang membutuhkan pertanggungjawaban dan kejiwaan tertentu bahkan untuk mengucapkannya jika menilik pada budaya dan akar kebangsaan asli Indonesia, bukan turunan dari Arab yang mentah dan pura-pura sehingga dengan mudah mengangkat isu hantu pornografi atau pornografi sebagai hantu.
Namun sekarang karena disinyalir ada kemerosotan moral dan percepatan kecerdasan anak-anak yang mencengangkan maka hal itu mungkin dinisbikan begitu saja, karena lag budaya yang demikian membuat terkesima. Atau menjaga agar apa yang sudah distigmakan pada GERWANI akan selalu awet, dan tidak ketahuan bohongnya. Apalagi jika berpikir agak 'njelehi', bahwa konten filter adalah sarana masuknya hidden agenda pemerintah untuk selalu mengawasi warganya, demi alasan keamanan dan tentunya data yang valid dan cepat meski pada praktek awalnya gagap, namun bukan tidak mungkin nanti akan terdigitalisasi dan segala macam privacy adalah hanya impian belaka.
Serta meski hanya rerasan namun ocehan @donnybu ini cukup memberi warning bagi internet di Indonesia, meski wajar ketika dilakukan negara untuk kemasalahatan umum, namun jika disalahgunakan oleh penguasa?. Meski memang ketika ada protes besar 'chaos' maupun 'riot' tentunya semua infrastruktur akan rusak ataupun dirusak, namun jika diblokir?. Sangat terbayang betapa tragedi 1965 akan sangat mudah terjadi kembali.
Akan sangat berbeda ketika negeri ini dibangun dengan akal sehat, yaitu menjadi negara agraris dan negara produsen sesuatu yang bisa diandalkan, bukan hanya sayuran dan rempah-rempah yang membuatnya dijajah Belanda dan Inggris saat itu, namun juga bisa bangga dengan buatan sendiri baik komoditi rumahtangga ataupun lainnya hingga sarana Tehnologi Informasi misalnya, dan bisa dijual sehingga menjadi pemasukan untuk negara sehingga menjadi asset yang demikian dihormati karena muncul dari, oleh dan untuk warganegaranya.
Bukan seperti saat ini yang rasanya industri internet adalah bukan milik negara sendiri namun bagaikan hantu alien yang datang dari antah berantah yang harus diblokir, difilter ataupun dibuatkan regulasi agar malah tidak berkembang. Tentu akan sangat berlainan sekali, dan sangat sulit untuk mencipta hantu-hantu sebagaimana hantu pornografi dan sebagainya. Dan anehnya blokir memblokir atau blacklist ini beralih dari blacklist buku - pelarangan buku - berpindah kepada pelarangan konten-konten di internet.