Akankah otoritas negeri begajul terbuka untuk menginformasikan perkembangan teroris yang dijuluki Jamaah Islamiyah pada kawulanya sendiri, benar-benar ada atau tidak. Mengapa rakyat harus di ombang-ambingkan dengan rasa kengerian dan ketakutan akan adanya teror, entah teror dari para teroris sendiri atau teror dari banyak hal dalam kehidupan sehari-hari seperti layanan kesehatan misalnya yang tidak memuaskan, layanan para penyedia jasa akses internet, layanan keamanan dalam penerbangan, pelayaran, apalagi tentang kondisi lalu lintas dan kemacetan yang juga menjadi semacam lauk sarapan di pagi hari. Akankah terorisme menjadi lalapan dalam makan siang atau sayuran dalam piring yang terhidang di tempat umum meski untuk itupun harus rela mengeluarkan rupiah sebagai maskawinnya.
Benarkah seperti tuduhan yang dikemas dalam pernyataan resmi pemerintah negara lain yang konsern akan terorisme tentang perkembangan dan tehnik baru terorisme di negeri itu, mengapa di negeri yang sudah bisa melakukan pemilu secara advanced demokrasi dengan dukungan rakyat yang penuh bisa dengan mudahnya para pelaku teror itu berkeliaran, bahkan mampu mengginap di hotel mewah JW Marriot dengan juga membawa kado bom kembar di hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. Dua buah tempat yang sangat terasa asing bagi kuping ndeso, maupun banyak telinga di belahan negeri ini. Bagaimanapun para tokoh harus mengakui kenyataan yang ada dan disuarakan agar seluruh lapisan masyarakat bisa membantu bukan hanya dengan mengeluarkan logo tag berbahasa aneh yang malah terdengar seperti grup sepakbola, apakah tidak ada istilah lain yang lebih merakyat, cantik dan menggemaskan.
Ibukota di negeri begajul memang pusat segalanya, dari semua kerapuhan moral, politik hingga ajang peperangan dan pertarungan. Pertarungan untuk mencari sesuap nasi hingga pertarungan untuk meraup sebongkah intan permata, bahkan peperangan dalam mengantongi berton-ton uang yang berasal dari penjualan tertentu dan hasil tambang daerah jauh disana. Tempat itu memang sudah memiliki beban yang berlebihan, hingga tidak pernah terasa lagi beban-benan kehidupan yang menjerat kawulo alit karena semua yang hidup disana sibuk dengan beban dan komoditas yang menjanjikan kepulangan rupiah ke dalam rekeningnya.
Globalisasi yang mendengung-dengung karena memang dikampanyekan akhirnya juga akan memakan sesuatu yang pahit dan geir, karena dibarengi pula dengan globalisasi dari lawan globalisai itu sendiri. Akankah suratan alam dengan font yang semakin jelas dibaca mengarah ke kemurkaan alam beserta isinya, mulai bergelayut dimulai ketika perang-perang besar ketika para bangsa pemuja orde dunia baru mulai melancarkan syahwat kekuasaanya ke seantero dunia. Sementara hingga saat ini perijinan untuk mengadakan perang besar pun semakin sulit, peperangan yang melahirkan banyak tokoh dan ksatria legendaris semakin sulit mencari ladangnya sehingga malah memunculkan peperangan sporadis yang sangat berbahaya bagi masyarakat sipil pengkonsumsi kehidupan sederhana tanpa embel-embel dan syahwat kekuasaan akan harta dan wilayah, yang tidak dibawa mati katanya. Atau jangan-jangan rasa dendam sudah saling bersemi kembali, entah.
Mengapa globalisasi tidak pernah jujur dan mengakui adanya global yang lainnya, mengapa globalisasi ujungnya adalah saling memojokkan, bukan penerimaan akan kebhinekaan. Rasanya memang akan semakin terpojok pemegang otoritas kekuasaan negeri begajul untuk memilih dan memihak kepada siapa, memang biarlah mereka dengan kebijaksanaannya dapat menentukan arah dan sikap yang terbaik. Bagaimanapun juga akan terkuak pula mengapa untuk masuk surga harus melalui pintu neraka, sebuah pintu menyakiti dan disakiti sesama, sebuah jalan yang teramat panjang dan berliku untuk menemui sang kebenaran hakiki.
Hanyalah cinta untuk mengembalikan jati diri bangsa yang bisa dilakukan karena tiada hak dan kewajiban tersedia untuk menolong dan membenarkan sesuatu yang sudah berjalan jauh dan mengakar. Sesuatu yang sangat absurd untuk diperdebatkan sebagaimana pandangan pro kontra tentang sebuah pesta yang disponsori negeri pelaku, pewaris dan pedagang terorisme. Dua buah sisi mata uang yang berbeda dan selalu saling tuding dan memojokkan.