Desa berasal dari bahasa Sanskrit dusun atau desi, yang artinya adalah tempat kelahiran, tempat tinggal, negeri leluhur dengan arah kepada kesatuan hidup, kesatuan norma dan batas wilayah yang jelas. Dalam kamus bahasa Indonesia Desa diartikan sebagai tempat, daerah, lawan dari kota, udik, dan satu kesatuan kampung atau dusun. Selain itu menurut Siagian, 1983, desa bisa juga diartikan sebagai satu kesatuan hukum, yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan sosial yang hidup serta tinggal menetap di suatu daerah tertentu dengan adat istiadat yang dijadikan landasan hukum dan mempunyai pemimpin formal yaitu kepala desa.
Dengan begitu desa pasti memiliki lokasi secara geografis yang nyata, memiliki penduduk dengan jumlah tertentu, memiliki pemimpin dan pemerintahan dan terdiri dari beberapa desi atau dusun. Sementara desi atau dusun sendiri memiliki pimpinan dusun (kadus) atau istilah lain, dan terbagi pula di dalamnya ketika jaman orde baru ada RK, RW dan RT.
Desa pada prakteknya adalah kepanjangan tangan pemerintah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat warga desa. Desa memiliki hak istimewa dan secara nyata adalah Daerah Tingkat III. Namun belum juga bisa ditemukan secara nyata dan global di Indonesia apakah desa sebagai pemerintahan, komunitas ataukah campuran diantara keduanya. Desa yang ada di Jawa, Kalurahan, akan sangat berbeda dengan entitas desa di Luar Jawa yang bernama Nagari, suku dan sebagainya. Perbedaan situasi ini akan sulit dipecahkan dengan RUU Desa jika tidak benar-benar berniat baik terhadap entitas pemerintahan terbawah.
Bagaimana memahami kembali eksistensi desa sebagai subyek dan obyek pembangunan, sehingga perubahan dan dinamika yang ada dapat memenuhi kebutuhan dan tantangan zaman. Ada enam model penyelenggaraan pemerintahan desa ke depan yang dapat dilakukan secara paralel atau kombinasi sesuai dengan kondisi lingkungan dimana mereka berada. Keenam model tersebut adalah: 1). Model desa murni adat, 2). Model desa administratif, 3). Model integrasi antara adat dan desa administratif, 4). Model dualisme adat dan desa, 5). Model kelurahan, 6). Model desa praja.Utang Suwaryo, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran Bandung dan Dosen Tidak Tetap Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Islam “45” Bekasi (dikutip dari governance, Vol. 2, No. 1, November 2011)
Model pertama: Desa Murni Adat, model ini menggambarkan bahwa desa itu hanya sebagai komunitas lokal berbasis adat asli dan tidak mempunyai pemerintahan desa seperti yang ditetapkan oleh UU Nomor 5 tahun 1979 atau UU Nomor 22 Tahun 1999. Desa murni adat ini seperti halnya terjadi pada komunitas-komunitas lokal di kawasan Eropa dan Amerika. Komunitas lokal ini memiliki organisasi lokal yang lebih menyerupai asosiasi lokal ketimbang institusi pemerintah. Organisasi atau asosiasi lokal itu bukanlah bawahan struktur pemerintah yang lebih tinggi, serta tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah, melainkan hanya menjalankan fungsi mengurus urusan-urusan kemasyarakatan yang bersifat lokal dan sukarela. Organisasi ini sama sekali tidak mempertanyakan masalah desentralisasi dan otonomi lokal yang berhubungan dengan pemerintah, kecuali hanya sebagai bentukmodal sosial yang digunakan oleh warga untuk menolong dirinya sendiri, bekerjasama, membangun kepercayaan, dan bisa juga sebagai basis civil society untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Meskipun tidak berhubungan dengan desentralisasi, bukan berarti pemerintah membiarkan masyarakat lokal tersebut. Wilayah maupun penduduk di komunitas lokal itu tetap menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah, terutama bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum, listrik, transportasi dsb) yang tidak mungkin mampu ditangani sendiri oleh organisasi lokal.Jika model ini menjadi pilihan, maka konsekuensinya desa sebagai institusi pemerintah local (local self government) dihapus karena desentralisasi dan demokrasi formal tidak lagi berada di desa, melainkan berada di level kabupaten. Urusan administrasi untuk warga dipusatkan di level kecamatan dan di unit-unit tertentu yang dibentuk kecamatan sebagai kepanjangan tangannya. Pemerintah tetap berkewajiban menyediakan layanan publik kepada masyarakat dan melaksanakan pembangunan desa ke seluruh pelosok desa.Model ini tampaknya akan cocok diterapkan bagi masyarakat adat yang masih kental dengan nilai-nilai tradisionalnya yang selama ini termasuk gagal memadukan antara adat dan desa. Beberapa daerah seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur sejak dulu terjadi dualisme antara desa administratif dan kesatuan masyarakat adat. Pemerintah desa administratif tidak berjalan secara efektif, sedangkan masyarakat adat sedikit banyak mempunyai kontrol atas tanah ulayat dan memperoleh legitimasi sosial di hadapan warga setempat. Alternatifnya, pemerintah desa administratif dihapuskan sama sekali, sedangkan kesatuan masyarakat adat sebagai self governing community direvitalisasi untuk mengelola dirinya sendiri tanpa harus mengurus masalah administrasi pemerintahan dan tidak memperoleh beban tugas dari pemerintah. Model ini tentu akan mengakhiri dualisme antara desa dan adat, sekaligus bisa memperkuat adat sebagai basis komunitas lokal.Dikutip dari Utang Suwaryo, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran Bandung dan Dosen Tidak Tetap Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Islam “45” Bekasi (governance, Vol. 2, No. 1, November 2011) dan diskusi dengan mas @fhadi, Farid Hadi.
Dalam Diskusi RUU Desa setahun Gerakan Desa Membangun #1thGDM, @jwaluyo, Joko Waluyo mengungkapkan perbedaan antara desa di Jawa dan di Luar Jawa, bahkan katanya ada satu kantor kecamatan di Mamberamo, Papua yang letaknya sangat jauh dari desa-desa yang diurusinya. Warga Desa harus naik pesawat untuk menuju Kantor Kecamatannya tersebut. Juga dikatakannya ada semacam desa yang disebut Kampung dan warganya hanya berjumlah sekitar 160 orang. Benar-benar hal yang sulit dipahami dalam konteks Jawa.
#RUUDesa #1thGDM @fhadi 1 village 1 planning sudah, tapi 1 budgeting belum dilakukan. Kades ketika diminta pertanggungjawaban masih pusing
— suryaden (@suryaden) December 8, 2012
Kades Melung, Budi Satrio Ragil, lebih memusatkan pada pengalamannya membina Desa Melung menjadi desa yang transparan dan terbuka kepada warganya. bagaimana prosesnya membangun dengan TIK sebagai alat dan pemicu tumbuhnya ekonomi Desa Melung, Kedung Banteng, Banyumas. Dan Bapak Bayu Dermaji, Kades 2.0 dari Dermaji, Kecamatan Lumbir, Banyumas yang mengatakan bahwa pemerintah desa tidak memiliki kewenangan melakukan self local governing, namun hanya sebatas perencanaan untuk membuat RPJMDes yang praktiknya ketika diusulkan tidak pernah mendapat tanggapan yang nyata.
Farid Hadi salah seorang peneliti dan pemerhati Desa yang sering melakukan riset di desa-desa Indonesia Bagian Timur dan melakukan juga kerja-kerja kerelawanan di Desanya di Jogjakarta. Mengungkapkan bagaimana Desa semakin menjadi asing karena pertumbuhan ekonomi desa yang hanya seperseratus pertumbuhan gaji buruh di kota. Bagaimana Farid Hadi bisa menemukan di desa Indonesia bagian timur yang biaya hidup untuk masyarakat dibawah garis kemiskinan yang memerlukan biaya hingga 750 juta rupiah per desa. Sementara bantuan dana alokasi dari pemerintah untuk Desa mungkin tidak lebih dari itu. Betapa jauh dari harapan ketika kebutuhan tersebut adalah hanya untuk masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, belum yang berada di garis kemiskinan pas.
Bukan hal sepele memang ketika berpikir tentang desa. Akan terjadi tarik-menarik kepentingan yang luar biasa antara para pejabat, orang kota dan pemerintah pusat sendiri yang selama menggunakan dan menyerap data dan kekayaan desa untuk kehidupan dan tata cara kenegaraan yang mewah, serta untuk menghidupi pegawainya. Sementara judul dari RUU tentang Desa sama sekali tidak terdapat kata kunci untuk menyelamatkan ataupun memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bangkit membangun dirinya, membangun lingkungan desa agar lebih tertata tanpa meninggalkan segala aspek budaya dan keindahan desa yang sejuk dan memiliki makna bahwa membangun desa adalah membangun negara. Bahwa membangun negara tidak harus ke kota untuk menjadi buruh ataupun keluar dari desa untuk membangun negara namun dari desalah kesuksesan tujuan negara dalam pembukaan konstitusi negeri begajul akan segera terwujud.